AWAL PERJALANAN
(Karya Wahyudi Nugroho)
Istana dan rumah-rumah punggawa kerajaan Medang terbakar. Api berkobar menjilat angkasa. Asap hitam bergulung-gulung membelah langit. Mendung yang hitam semakin legam. Gelap-gulita.
Semua pasukan dari kerajaan Wura-wari, Wengker dan Sriwijaya bersorak. Mereka mengacung-acungkan senjata menuding langit sambil bersorak-sorak dan berlonjak-lonjak gembira. Keinginan mereka menghancurkan kerajaan Medang Kamulan tercapai sudah.
Itulah puncak peristiwa tragis yang terjadi di negeri Mataram kuno di Jawa Timur itu. Wangsa Isyana ditumpas habis oleh musuhnya. Mereka yang masih hidup terbirit-birit melarikan diri. Bersembunyi di hutan belantara.
Kini rakyat Desa Galuh hanya bisa mengenang masa kejayaan kerajaan itu. Hari-harinya tidak lagi diwarnai senyum dan tawa seperti dulu. Namun rasa khawatir selalu terpendam di dada. Setiap saat bisa saja terjadi bencana yang melanda kehidupan mereka.
Tak ada lagi yang bisa diharapkan jadi pelindung, menjaga keselamatan mereka, dari tangan-tangan para pemegang kekuasaan baru yang masih curiga terhadap kesetiaan rakyat.
Berandal dan kecu bersengkokol dengan para punggawa untuk menguras harta rakyat atau merebut apapun yang dianggap berharga.
Tujuh tahun telah berlalu, sejak peristiwa itu terjadi. Namun keadaan hidup rakyat belum dapat pulih kembali. Mata pencaharian sulit didapat, kemiskinan merajalela.
Dalam situasi yang memrihatinkan itulah, seorang pemuda berbadan tegap dan kekar berisi, berjalan mengelilingi desa Galuh, bekas kotapraja negeri Medang yang kesohor itu
Berulang kali ia berhenti untuk menyaksikan bekas-bekas bangunan yang dulu dikenalnya berdiri megah. Namun bangunan-bangunan itu kini tinggal puing-puing berserakan, menjadi onggokan kayu dan batu yang telah ditumbuhi lumut dan tanaman liar.