Segala sesuatu ada awalnya.
Demikian juga tumpeng dan gunungan. Karya budaya leluhur ini lahir bukan tanpa sebab. Namun hasil sebuah pergulatan hidup. Merupakan sintesa dari pergumulan kekuatan lama dengan kekuatan baru di ranah keyakinan dan kebudayaan. Kemudian berkembang di ranah sosial dan politik.
Pasca ditemukannya situs Tandhawangsa, di desa Suwaluh, Kediri, beberapa cerita tersebar lewat tutur, dari orang-orang tua tentang tumpeng, gunungan dan reruntuhan candi. Semuanya kurekam dalam ingatan.
Serpihan-serpihan itu semula tanpa makna. Tidak berkait dan tersambung. Setelah kupilih dan kupilah, kurajut dan kuanyam, kubumbui ramuan yang kupetik dari catatan sejarah, jadilah cerita sederhana ini.
Tidak indah memang. Jika ditimbang dari standar karya sastra yang bermutu. Namun cukuplah kiranya jika punya sejimpit manfaat. Setidaknya untuk merawat ingatan jangan sampai lupa.
Bahwa setiap bentuk kekerasan, apalagi atas nama keyakinan, lebih -lebih hanya demi segenggam kekuasaan, hanya akan menyengsarakan rakyat. Membuat luka batin yang sulit disembuhkan hingga berabad-abad.
Demikianlah hasil rajutan dan anyaman cerita orang-orang tua itu.
**********
Dulu ketika raja-raja besar (Kediri, Singosari, Majapahit) masih memeluk Hindu, kehidupan pedesaan masih komunal, pembagiaan kerja masih rendah, pengelolan tanah masih sederhana, saban tahun pasca panen masyarakat rutin selenggarakan puja syukur bersama. Selesai ritual selenggarakan pesta dan festival berbagai seni yang dikuasainya.
Setiap desa memiliki pura, tempat selenggarakan puja syukur bersama. Setiap pura menghadap gunung yang keramat. Tempat bersemayam para dewa dan arwah leluhur. Di Jawa Timur gunung itu adalah Semeru, Meru, Mahameru.