Lihat ke Halaman Asli

Wahyu Dinda

mahasiswa

Lunturnya Penggunaan Nama Jawa di Kalangan Orang Jawa

Diperbarui: 1 Mei 2024   12:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Nama adalah identitas yang melekat pada setiap individu. Dalam budaya Jawa, nama bukan sekadar penanda, namun juga mengandung makna filosofis yang dalam. Saat ini terjadi sebuah fenomena menarik di kalangan masyarakat Jawa, yaitu lunturnya penggunaan nama Jawa. Hal ini menjadi sorotan karena nama merupakan bagian tak terpisahkan dari identitas budaya sebuah masyarakat. Terdapat beberapa pembagian era dalam penamaan jawa yaitu era 1950-1960, era 1970-1980, era 1990-2000.

Pada periode 1950 hingga 1960, tradisi pemberian nama di kalangan masyarakat Jawa mencerminkan kekayaan budaya dan spiritualitas yang mendalam. Nama-nama diberikan berdasarkan pada kalender Jawa, yang meliputi penentuan hari dan bulan kelahiran dalam sistem pasaran. Terdapat lima hari pasaran, yaitu Legi, Pahing, Wage, Pon, dan Kliwon, serta dua belas bulan pasaran, seperti Suro, Sapar, Mulud, dan lain-lain. Sebagai contoh, bagi individu yang lahir pada hari pasaran Pon, mungkin diberi nama seperti Ponimin atau Ponisah. Begitu pula, bagi yang lahir pada bulan pasaran Suro, mungkin diberi nama Suranto. Selain itu, penggunaan nama dari tokoh pewayangan juga cukup umum, seperti Sukarno, Suroto, Suhadi, Sriyati, dan lainnya. Tidak jarang, pada periode ini, nama-nama tersebut hanya terdiri dari satu kata saja, mencerminkan kesederhanaan dan kekuatan makna di balik setiap nama.

Masuk ke periode 1970 hingga 1980, terjadi perkembangan dalam pemberian nama di kalangan masyarakat Jawa. Nama-nama menjadi lebih panjang, terdiri dari dua kata, atau jika hanya satu kata, memiliki tiga suku kata. Proses pemberian nama pada periode ini ditandai dengan adanya beberapa indikator awalan yang umum digunakan. Awalan-awalan ini antara lain Su, Sa, Wi, Nga, Tu, Po, Ju, Wa, dan Ka. Sebagai contoh, dalam prakteknya, seseorang mungkin diberi nama dengan awalan Su, seperti Sugeng atau Sumarno, atau dengan awalan Sa, seperti Sarwono atau Sariyati.

Pada periode 1990 hingga 2000, terjadi perubahan tren dalam pemberian nama Jawa. Trend ini ditandai dengan perubahan dalam panjang dan komposisi kata yang digunakan dalam nama. Bentuk nama mengalami perkembangan yang signifikan dengan adopsi dari berbagai sumber untuk menciptakan nama-nama baru yang lebih modern.

Di masyarakat, terdapat dua fenomena menarik terkait penggunaan nama Jawa. Pertama, dalam dunia hiburan seperti film dan sinetron, nama Jawa seringkali diberikan kepada karakter-karakter yang berperan sebagai pembantu atau supir, dan kadang-kadang dijadikan sebagai penanda status sosial yang rendah. Hal ini mengakibatkan adanya pemikiran bahwa orang Jawa adalah orang kelas bawah. Akibatnya, beberapa orang Jawa menjadi enggan menggunakan nama Jawa karena malu atau merasa rendah diri. Fenomena ini mencerminkan dampak sosial yang signifikan terhadap penggunaan nama Jawa di masyarakat.

Sementara itu, fenomena kedua terkait faktor agama yang dianut oleh masyarakat Jawa. Banyak orang Jawa yang beragama Islam memilih untuk memberikan nama kepada anak-anak mereka yang berasal dari bahasa Arab atau Al-Quran, atau bahkan nama-nama yang terkait dengan tokoh penting dalam Islam. Hal ini menjadi kebiasaan yang umum dan tanpa disadari, mengakibatkan penggunaan nama Jawa semakin jarang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.

Beberapa faktor yang menyebabkan semakin lunturnya penggunaan nama jawa dikalangan orang jawa itu sendiri:

1. Globalisasi dan Pengaruh Budaya Asing

Salah satu faktor utama yang menyebabkan lunturnya penggunaan nama Jawa adalah globalisasi. Dengan kemajuan teknologi dan interkoneksi antarbudaya, pengaruh budaya asing semakin meresap ke dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini mempengaruhi pemilihan nama anak di kalangan orang Jawa. Orang tua mungkin lebih cenderung memilih nama-nama yang terdengar lebih global atau universal, tanpa mempertimbangkan nilai-nilai tradisional Jawa.

2. Modernisasi dan Perubahan Nilai Budaya

Perubahan nilai budaya juga berperan penting dalam lunturnya penggunaan nama Jawa. Masyarakat Jawa, seperti juga masyarakat lainnya, tengah mengalami perubahan nilai-nilai dalam menghadapi modernisasi. Nilai-nilai tradisional sering kali terpinggirkan oleh nilai-nilai modern yang lebih individualistik dan kosmopolitan. Dalam konteks ini, penggunaan nama Jawa mungkin dianggap kuno atau kurang relevan oleh sebagian orang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline