Hai saudara milineal, kini kita sudah memasuki Pilkada serentak 2020 di 2020 di 270 daerah. Berbeda Pilkada sebelumnya, dua perubahan dalam Pilkada tahun depan. Nah, kenapa saya mengambil tema yang kalah jadi menang, yang menang jadi kalah di essay ini. Sebab, sering terjadi di pemiihan Pilkada elite-elite calon pimimpin pilihan, mempermainkan pemilih dengan cara politik kotor sehinga memilihnya. Sampai pemilih yang tidak tahu calon pemimpin di bayar untuk kemenangan semata. Tidak tahu lagi apa tujuan dari Pilkada ini yang selalu bersiasat menguntungkan diri sendiri tanpa menghiraukan rakyatnya. Mungkin ada beberapa elite yang masih ingat kepada tujuan untuk menjadi wakil rakyat dengan jujur. Maka dengan itu, jangan sampai salah pilih, jangan sampai yang seharusnya menang jadi kalah atau yang kalah jadi menang, dan jangan sampai tertipu dengan politik-politik harapan palsu pemimpin yang tak tanggung jawab.
Memilih pemimpin yang adil dan bijaksana dalam mengambil keputusan terhadap kepimpinannya, itu sulit. Kita sebagai sahabat generasi milineal yang lahir dalam rentang waktu awal tahun 1980-an hingga tahun 2000 yang hidup di pergantian millenium ini, harus pandai untuk menentukan langkah sebagai kepentingan bersama serta mengawasinya. Sebagaimana diketahui, generasi muda Indonesia termasuk dalam genersi Y, Z dan Milineal yang hidup dalam kepungan teknologi dan pengetahuan. Sehingga generasi tersebut tidak lagi kesulitan untuk mendapatkan sumber daya dalam meningkatkan kualitas hidupnya. Jual beli semakin mudah, akses edukasi telah tersedia dimana-mana, peluang bisnis terus terbuka dan sebagainya. Mungkin itu sebabnya generasi ini lebih banyak membutuhkan aktualisasi diri. (divisi sumber daya manusia dan organisasi bawaslu jombang 2020). Jadi, kita jangan sampai tidak memahami sistem dari apa yang terjadi di lingkungan sekitar, terutama soal sistem politik Indonesia yang maraknya banyak tipu daya palsu.
Indonesia negara Bhineka Tunggal Ika, negara satu rasa satu bangsa. Jangan sampai negara hukum ini berubah menjadi negara korupsi atas kebohongan sistem kepemerintahannya. Ya, Indonesia perlu orang-orang yang tekun, ulet, pintar, cerdas, serta berakhlak baik. Kenapa harus ada akhlak untuk seorang pemimpin? Karena, akhlak itu diambil dari kata Bahasa Arab yang artinya perangai, tingkah laku atau etika sopan santun. Agar pendidikan indonesia sempurna bagi lingkungan hidup khususnya manusia. Seperti perkataan Syeikh Abdul al-Jailani, "Aku lebih menghargai orang yang beradab daripada berilmu". Maksudnya, banyak orang yang tahu akan ilmu, tapi tanpa aturannya akan menjadi kebodohan, dibandingkan orang yang mempunyai ilmu sedikit, tapi ia beraturan terhadap ilmunya pasti sesuatu yang dilakukan terjaga walaupun kita sebagai rakyat tidak mengetahuinya.
Berhubung negara Indonesia ideologi Pancasila, mari kita laksanakan Pilkada berdasarkan Asas Demokrasi dan Nilai-nilai Pancasila. Pancasila adalah Philosophische Grondslag, atau dasar Negara yang disahkan PPKI tanggal 18 Agustus 1945 sebagai kesatuan dengan UUD 1945, wajib dijadikan dasar penyelenggaraan negara dalam seluruh aspek kehidupan. Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hokum sebagaimna diatur dalam Pasal 2 UU 12/2011, wajib dijadikan sebagai rujukan penyusunan seluruh peraturan perundang-undangan, temasuk UU Pemilu maupun UU Pilkada. Sila ke-4 Pancasila yang berbunyi "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan", mengundang makna bahwa kedaulatan rakyat merupakan esensi dari demokrasi berdasarkan Pancasila. Demokrasi yang demikian itu dapat dijalankan melalui Pemilu dan Pilkada secara langsung maupun secara tidak langsung (oleh DPR/DPRD), dan/atau diselenggarakan oleh Masyarakat Hukum Adat (MHA) dalam bingkai permusyawaratan rakyat. ((Widodo n.d.). Negara Indonesia negara Pancasila yang dibentuk sedemikian rupa untuk menjadi ideologi bangsa tentu kita sebagai rakyat harus mengikuti, karena sudah kewajiban untuk membela atau mempertahankan suatu Negara. Seperti perkataan Ulama, yaitu Hubbul Wathon cintah tanah air sebagian dari pada Iman.
Berpolitik untuk mendapatkan sesuatu dengan cara apapun dilakukan saat pemilu Pilkada nalar elite local, sebagaimana Dr. Guno Tri Tjahjoko, menulis di bukunya yang berjudul Politik Ambivalensi: Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada. Ia, melacak dari budaya yang merupakan salah satu etnis berpengaruh pada era Orde Lama dan Orde Baru lalu menemukan adanya tradisi erau. Tradisi erau merupakan tradisi untuk penobatan raja Kutai, tetapi ketika Kesultanan Kutai menyatakan diri bergabung dengan Republik Indonesia, statusnya sebagai daerah kusultanan secara terhadap melebur hilang da di gantikan kabupaten.Pelebur Kesultanan Kutai menjadi bagian dari Republik Indonesia memerlukan pergulatan panjang; terjadi konflik horizontal antara frontpendukung Kutai dan front Nasional yang memakan korban masyarakat di Sanggata. Intinya, kalangan elite keberatan apabila Kesultan Kutai bergabung ke Republik Indonesia, karena hali ini berdampak hilangnya royalti yang diterima dari Belanda setiap bulan atas sumber daya alam di Kalimana Timur. (Tjahjoko 2015). Itu adalah gambaran bagaimana mengetahui kinerja nalar elite di balik pemilu Pilkada yang akan kembali dilaksaka di tahun 2020 ini, memang kita sebagai rakyat harus benar-benar faham akan situasi kepemerintahan atau kepimpinan di daerah masing-masing agar harapan palsu, kata-kata manis aparat pemerintah bisa di pahami secara baik dan bertoleransi antar sesama elite-elite Republik Indonesia.
Pelajari ciri pertukaran dalam hubungan patronase dan politik uang membuat keduanya berbeda ketika diterapkan dalam aktivitas politik. Dalam politik patronase, pemilih sangat mengenal dan memiliki hubungan yang dekat dengan calon yang dipilihnya. Pilihan dijatuhkan dengan sangat sadar dan didasarkan pada pengetahuan yang mendalam, karena pemilih mengenal orang yang dipilih. Pemilih juga sangat sadar akan konsekuensi lebih lanjut dari pilihannya. Dia juga sadar bahwa jika calon yang dipilihnya menang, maka dia akan banyak mendapatkan manfaat dari kemenangan tersebut. Dalam politik uang, besar kemungkinan pemilih tidak begitu mengenal calon yang dipilihnya. Bisa juga dia mengenal calon tersebut bahkan hingga sisi negatifnya. Namun, karena dia telah menerima sejumlahuang, maka sisi negatif ini bisa saja lantas diabaikan atau tidak menjadi bahan pertimbangan dalam menjatuhkan pilihan. Keinginan dan selera pribadi juga diabaikan, karena pemilih ingin membalas budi calon yang telah memberinya uang. Pemilih juga tidak begitu peduli terhadap akibat lebuh lanjut dari pilihannya: apakah pilihan tersebut akan menguntungkan atau merugikannya secara pribadi atau akan menguntungkan atau merugikan kelompoknya---itu semua tidak lagi penting baginya. Yang paling penting adalah bahwa dia telah mendapat sejumlahuang yang diperlukannya, dan dia perlu membahas pemberian tersebut dengan cara memberikan suaranya. Dengan demikian, upaya memenangkan sebuah proses pilkada melalui pemanfaatan hubungan patronase bukanlah sebuah saat politik yang mudah dan murah. Dibandingkan dengan politik uang, politik patronase tampaknya lebuh mahal, karena memerlukan beberapa tahun untuk membangun hubungan-hubungan patronase dengan berbagai pihak. Interaksi tatap muka dan bersifat pripadi juga harus lebih banyak dilakukan dengan kilen-kilen. Itu semua memerlukan dana yang tidak sedikit. Oleh karena itu, hasil dari politik patronase ini lebih dapat diandalkan. Seorang patron hamper selalu yakin bahwa kilen-kilennya akan memilihnya daripada memilih pesaingnya. (Tjahjoko 2015).
Politik identitas yang muncul dalam sejarah pelenyenggaraan pemilu di Indonesia khusunya yang terjadi dalam pemilu lokal harus di anggapi secara bijak dengan penalaran yang bersifat historis dan harus dipahami dengan baik oleh masyarakat. Dalam negara yang menjemuk seperti Indonesia, potensi kemunculan politik identitas akan selalu terjadi, sehingga perlu suatu solusi untuk mengurangi hal tersebut. Politik identitas yang lebih banyak menimbulkan konflik antar suku, etnis, agama dan kelompok terjadi karena pemahaman yang salah mengenai identitas tersebut, masih banyak orang yang berfikiran sempit karena mengartikan identitas hanya mengacu kepda satu kelompok. Sejak Indonesia merdeka, telah disepakati bahwa perbedaan suku, ras, agama dan golongan yang berbeda tidak boleh memecah belah bangsa, tetapi setiap masyarakat menjunjung tinggi bahwa perbedaan dijadikan sebagai alat pemersatu bangsa. Dalam Undang-Undang Pilkada Nomor 10 Tahun 2016 pasal 87 ayat 2 disebutkan bahwa sanksi jika setiap orang yang melakukan pelanggaran kampanye berupa menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, Calon Gubernur, Calon Bupati, Calon Walikota, dan /atau partai politik dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 18 (delapan belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000.00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp6.000.000.00 (enam juta rupiah). Sanksi ini dikenakan kepada pelaku jika politik identitas yang digunakan telah menjurus kepada penghinaan kepada calon lainnya dalam hal suku, agama, ras, dam golongan. Karena itu pengawas pemilu atau masyarakat harus jeli melihat dan menyikapi jika ada salah satu calon, tim kampanye atau olnum yang melakukan penghinaan berbau SARA untuk menjatuhkan lawan politiknya. Tidak hanya pengawas pemilu, masyarakat juga harus turut aktif berperan untuk bersama-sama mengawasi hal demi menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. (2. 1.-1. (Dhani n.d.)
Akhir Zaman. Bingung apa yang terjadi pada bumi ini, bingung apa yang terjadi pada negeri ini, bingung apa yang terjadi pada pemimpin pada saat ini yang lebih mementingkan pribadi dan menghiraukan kemakmuran rakyat. Apakah yang sangka siapa yang salah di negeri ini dan tidak ada yang harus disalahkan. Yang harus dibenahi ialah, bagaimana prilaku kita dalam melakukan sosial terhadap lingkungan semestinya manusiawi budiman. Langkah awal yang mesti di lakukan ialah, cari ilmu yang bisa membentengi kesalahan kita agar keselahan tersebut tidak menular kepada lingkungan yang lain. Contohnya, perdalam ilmu akademik yang bebasis islami, karena mencari ilmu umum atau akademik nasional tidak yang dibarengi dengan metode Islam, akan tidak sesuai dengan pendapat masyarakat milineal atau tidak toleransi antar sesama. Seperti perkataan Abuya Uci Turtusi yang mengatakan, pemimpin harus islam, karena islam itu agama yang royal kepada semua agama, Islam mengajarkan berpolitik atau bersiasat yang jernih dan jujur atas aturan kehidupan di muka bumi ini. Tapi, terkadang pemimpin Islam pun melanggar aturannya, dikarenakan sifat ingin menguasai di barengi hawa nafsu kepentingan pribadi. Sebab itu, orang pintar tidak menjamin akan kesuksesannya, tapi orang yang kurang pintar namun mempunyai aturan etika lingkungan (akhlak) pasti ingat kepada apa yang ia pimpin.
DAFTAR PUSTAKA
(Dhani, 2019: 155-156). n.d.
(Dhani, 2019: 156). n.d.
(Widodo, 2015: 679-680). n.d.
Divisi sumber daya manusia dan organisasi bawaslu Jombang. 2020. Milenial Awasi Pilkada. Jombang: Tebuireng Institute.
Tjahjoko, Dr. Guno Tri. 2015. Politik Ambivalensi: Nalar Elite di Balik Pemenangan Pilkada. Yogyakarta: PolGov.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H