Tak dapat disangkal, dalam konteks Filsafat Islam, tema mengenai emanasi menjadi salah satu tema yang paling menarik dan ramai dibahas. Emanasi berkaitan dengan bahasan penciptaan. Bahwa penciptaan alam semesta ini tiada lain merupakan pancaran dari Yang Satu. Memang, bahasan tentang penciptaan sejak mula memantik banyak pandangan. Keragaman pandangan tersebut dimulai dari pertanyaan: apakah alam semesta ada karena memang ada dengan sendirinya, ataukah alam semesta ada karena diadakan. Pertanyaan pun berlanjut pada: kalaulah alam semesta ada karena diadakan, bagaimana proses penciptaan alam semesta itu sendiri. Dan teori emanasi termasuk teori yang muncul oleh pertanyaan menarik tersebut.
Di dalam bahasa Inggris, kata emanasi disebut emanation yang berarti proses munculnya sesuatu dari pemancaran; bahwa yang dipancarkan substansinya sama dengan yang memancarkan. Sedangkan dalam filsafat, emanasi adalah proses terjadinya wujud yang beraneka ragam, baik langsung atau tidak langsung, bersifat jiwa atau materi, berasal dari wujud yang menjadi sumber dari segala sesuatu yakni Tuhan, yang menjadi sebab dari segala yang ada, karenanya setiap wujud ini merupakan bagian dari Tuhan.
Al-Farabi, yang bernama lengkap Abu Muhammad ibn Muhammad IbnTarkhan ibn Auzalagh (870-950 M), bukan orang pertama penasbih teori emanasi. Sebelum Al-Farabi masih ada Plotinus (204-270 M), salah satu filosof Barat yang pemikiran filsafatnya kelak berpengaruh kepada para filosof Muslim. Diantara filsafatnya, satu diantaranya adalah tentang penciptaan. Plotinus berpendapat bahwa Yang Esa adalah Yang Paling Awal, sebab pertama. Dari sinilah mulai dikenal teori penciptaan yang kelak diketahui bernama teori emanasi, suatu teori penciptaan yang belum pernah diajukan oleh para filosof lain. Tujuan utama teori ini adalah untuk menjelaskan bahwa yang banyak (makhluk) ini tidak menimbulkan pengertian bahwa di dalam Yang Esa ada pengertian yang banyak. Maksudnya, teori emanasi tidak menimbulkan pengertian bahwa Tuhan itu sebanyak makhluk.
Menurut Plotinus, alam semesta ini diciptakan melalui proses emanasi. Emanasi itu berlangsung tidak di dalam waktu. Emanasi itu laksana cahaya yang beremanasi dari matahari. Dengan beremanasi itu Yang Esatidak mengalami perubahan. Emanasi itu terjadi tidak di dalam ruang dan waktu. Ruang dan waktu terletak pada tingkat yang paling bawah dalam proses emanasi. Ruang dan waktu adalah suatu pengertian tentang dunia benda. Untuk menjaadikan alam, Soul mula-mula menghamparkan sebagian dari kekekalannya, lalu membungkusnya dengan waktu. Selanjutnya energinya bekerja terus, menyempurnakan alam semesta itu. Waktu berisi kehidupan yang bermacam-macam, waktu bergerak terus sehingga menghasilkan waktu lalu, sekarang dan yang akan datang.
Selain Ibn Sina, Ibn Maskawaih, dan Ikhwan Ash-Shafa’, Al-Farabi berada di jajaran filsosof Muslim yang terkenal kuat pemikirannya mengenai teori emanasi. Al-Farabi setuju dengan teori emanasi yang menetapkan bahwa alam ini baharu, yang merupakan hasil pancaran. Al-Farabi menyebut teori emanasi sebagai Nadhariyatul Faidl. Dengan teori emanasi inilah al-Farabi mencoba menjelaskan bagaimana yang banyak bisa timbul dari Yang Satu. Bagaimana yang banyak (alam) yang bersifat materi muncul dari Yang Esa (Allah) yang jauh dari arti materi dan Maha Sempurna. Dalam filsafat Yunani, Tuhan bukanlah pencipta alam, melainkan penggerak pertama (Prime Cause), seperti yang dikemukakan Aristoteles. Sementara dalam Islam, Allah adalah Pencipta, yang menciptakan dari tidak ada menjadi ada (Creito ex Nihilo).
Emanasi dalam pemikiran Al-Farabi adalah Tuhan sebagai akal, berpikir tentang diri-Nya, dan dari pemikiran itu timbul suatu maujud lain. Tuhan itu adalah Wujud Pertama dan dengan pemikiran itu timbul Wujud Kedua yang juga mempunya substansi. Itu disebut dengan Akal Pertama yang tak bersifat materi. Wujud Kedua ini berpikir tentang Wujud Pertama dan dari pemikiran inilah timbul Wujud Ketiga. Proses ini terus berlangsung hingga pada Wujud X/ Akal Kesepuluh.
Wujud pertama yang keluar dari Tuhan disebut Akal Pertama, mengandung dua segi. Pertama segi hakikatnya sendiri (tabi’at, wahiyya) yaitu wujud yang mumkin. Kedua segi lain yaitu wujudnya yang nyata yang terjadi karena adanya Tuhan sebagai Dzat yang menjadikan. Sekalipun akal pertama tersebut satu (tunggal), namun pada dirinya terdapat bagian-bagian yaitu adanya dua segi tersebut yang menjadi obyek pemikirannya. Dengan adanya segi-segi ini, maka dapat dibenarkan adanya bilangan pada alam sejak dari Akal Pertama.
Dari pemikiran Akal pertama dalam kedudukannya sebagai wujud yang wajib (yang nyata) karena Tuhan, dan sebagai wujud yang mengetahui dirinya maka keluarlah Akal Kedua. Dari pemikiran Akal Pertama dalam kedudukannya sebagai wujud yang mumkin dan mengetahui dirinya, timbullah langit pertama atau benda lanjut terjauh (as-sama al-ula; alal-a’la) dengan jiwanya sama sekali jiwa langit tersebut. Jadi dari dua obyek pengetahuan yaitu dirinya dan wujudnya yang mumkin keluarlah dua macam makhluk tersebut yaitu bendanya benda langit dan jiwanya
Dari Akal Kedua timbullah Akal Ketiga dan langit kedua atau bintang-bintang tetap (al-kawakib ats-tsabitah) beserta jiwa dengan cara yang sama seperti yang terjadi pada Akal Pertama. Dari Akal Ketiga keluarlah Akal Keempat dan planet Satumus (Zuhal), juga beserta jiwanya. Dari Akal Keempat keluarlah Akal Kelima dan planet Yupiter (al-Musytara) beserta jiwanya. Dari Akal Kelima keluarlah Akal Keenam dan planet Mars (Madiah) beserta jiwanya. Dari Akal Keenam keluarlah Akal Ketujuh dan matahari (as-Syams) beserta jiwanya. Dari Akal Ketujuh keluarlah Akal Kedelapan dan planet Venus. (az-Zuharah) juga beserta jiwanya. Dari Akal Kedelapan keluarlah Akal Kesembilan dan planet Mercurius (‘Utarid) beserta jiwanya pula. Dari Akal Kesembilan keluarlah Akal Kesepuluh dan bulan (Qamar). Dengan demikian maka dari satu akal keluarlah satu akal dan satu planet beserta jiwanya.
Dari Akal Kesepuluh sesuai dengan dua seginya yaitu wajibul-wujud karena Tuhan maka keluarlah manusia beserta jiwanya. Dan dari segi dirinya yang merupakan wujud yang mumkin, maka keluarlah empat unsur dengan perantaraan benda-benda langit. Dan di akal ke X ini dayanya sudah lemah sehingga sudah tidak bisa menghasilkan akal yang sejenisnya.
Mengapa jumlah akal dalam teori emanasi dibatasi kepada bilangan sepuluh? Hal ini disesuaikan dengan bintang yang berjumlah sembilan di mana untuk tiap-tiap akal diperlukan satu planet pula, kecuali akal pertama yang tidak disertai satu planet ketika keluar dari Tuhan.
Stuktur Emanasi Al Farabi saat itu dipengaruhi oleh temuan saintis yang pada saat itu jumlah bintang adalah sembilan, karena jumlah benda-benda angkasa menurut Aristoteles ada tujuh. Kemudian al-Farabi menambah dua lagi yaitu benda yang terjauh (al-falak al-aqsha) dan bintang-bintang tetap (al-kawakib ats-tsabitah), yang diambil dari Ptolomey (atau Caldius Ptolomaeus) seorang ahli astronomi dan ahli bumi Mesir, yang hidup pada pertengahan abad ke-2 Masehi.
Sebab itu, maka jumlah akal ada sepuluh, sembilan diantaranya mengurus benda-benda langit yang sembilan, dan akal kesepuluh yaitu Bulan mengawasi dan mengurangi kehidupan di bumi. Akal-akal tidak berbeda, tetapi merupakan pikiran selamanya. Kalau pada Tuhan yaitu wujud yang pertama, hanya terdapat satu obyek pemikiran yaitu Dzat-Nya, maka pada akal-akal tersebut terdapat dua obyek pemikiran, yaitu Dzat yang wajibul-wujud dan diri akal-akal itu sendiri.
Al Farabi melalui ajaran teori emansi ini memecahakan masalah gerak dan perubahan. Beliau menggunakan teori ini pula ketika memecahakan masalah Yang Esa dan yang banyak dan dalam memadukan teori materi Aristoteles dengan ajaran Islam tentang penciptaan. Materi itu tua, setua teori akal sepuluh, tetapi ia tercipta karena ia memancar dari akal agen. Untuk mengukuhkan ke-Esaan Tuhan, Al Farabi memilih menengahi akal sepuluh ini antara Tuhan dan dunia bumi.
Beberapa unsur teori emansi dapat dilacak pada sumber asal mereka yang berbeda-beda. Aspek astronominya identik sekali dengan penafsiran Aristoteles tentang gerak lingkungan. Teori pemancaran diperoleh dari Plotinus dan aliran Alexandria, tetapi secara keseluruhan hal itu merupakan suatu teori Al Farabi yang ditulis dan diformulasikan untuk menunjukkan kesatuan kebenaran dan metodenya tentang pengelompokan dan sintesis. Demikianlah Al Farabi memadukan Plato, Aristoteles, filsafat, dan agama. Sungguh sumbangsih yang luar biasa dan tak ternilai harganya.[*]
NB: Catatan di atas saya buat sebagai pemantik diskusi matakuliah Kosmologi yang diampu Pak Muzairi. Alhamdulillah diskusi berlangsung hangat dan alot. Apalagi berkat catatan ini saya kemudian diberi waktu berdiskusi empat mata dengan Pak Dosen seusai jam kuliah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H