Lihat ke Halaman Asli

Aksara Sasak, antara Menjadi Masa Depan atau Masa Lalu

Diperbarui: 5 April 2016   11:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah sebuah kurikulum operasional pendidikan yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan di Indonesia. KTSP secara yuridis diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Dengan kata lain, pemberlakuan KTSP sepenuhnya diserahkan kepada sekolah, dalam arti tidak ada intervensi dari Dinas Pendidikan atau Departemen Pendidikan Nasional. Penyusunan KTSP selain melibatkan guru dan karyawan juga melibatkan komite sekolah serta bila perlu para ahli dari perguruan tinggi setempat. Dengan keterlibatan komite sekolah dalam penyusunan KTSP maka KTSP yang disusun akan sesuai dengan aspirasi masyarakat, situasi dan kondisi lingkungan dan kebutuhan masyarakat. Sesuai dengan keterangan di atas seharusnya sekolah-sekolah yang berada di Lombok atau masyarakat setempat mengembangkan kurikulum KTSP yang dalam ha ini harus mempergikan aspirasi masyarakat dan kebudayaan serta nilai-nilai yang ada di dearah setempat. Sebagai contoh masyarakat Sasak mengenal Tradisi Tulis dan perkembangannya, tradisi btulis tidak hanya menjadi wilayah para Kawi, tetapi menjadi aktivitasmasyarakat yang melek aksara jejawan. Masyarakat mulai  mencatat hal-hal yang penting dalam kehidupannya, mencata tanda-tanda alam, dan peristiwa-peristiwa disekitarnya. Masyarakat mencatat khazanah-khazanah pengetahuan Masyarakat sperti pengobatan, perbintangan, pertanian, jenis-jenis kayu dan kegunaannya.

Aksara yang digunakan dalam tradisi kawi Sasak juga disebut aksara kawi. Dalam perkembangannya  ada yang menyebutnya aksara jejawan dan yang kemudian disebut  aksara sasak. Aksara kawi  yang dimaksud adalah Ha-Na-Ca-Ra-Ka yang berkembang di Sunda, Jawa, Madura , Bali dan Sasak.  Aksara sasak diplokamirkan  pada tahun 1899 oleh presiden RI dengan bantuan mesin susun huruf. Secar sosiologis, penguasaan terhadap aksara Sasak dan bahasa kawi juga menunjukan pengaruh yang signifikan. Mereka yang menguasai aksara ini mendapatkan kedudukan yang tinggi serta terhormat dalam masyarakat, sebagai guru bahkan kiai dan belian (artinya tabib). Pengetahuan tentang sarah tasauf yang diperoleh dari nasjkah takepan mengantarkan masyarakat pendukung aksara ini menempuh jalan tasauf.   

Sarah-arah tasauf yang tersirat dalam naskah-naskah Kawi dipelajari oleh masyarakat Sasakdan dijadikan sumber nilai dan membangun kesadaran berketuhanan melalui kesadaran kosmos. Inilah ajaran Islam Tradisi yang lebih dikenal dengan kelompok abangan di Jawa. Di kalangan masyarakat pendudkung awal aksara ini, masyarakat Jawa menyusun tata urutan abjad yang kita kenal sekarang, dihubungan dengan kisah Aji Saka yang kemudian diislamkan dengan konsep “caraka” yang dimaknai dengan utusan (Rasul) sebagai bukti keberadaan Yang Maha Kuasa dan membawa ajaran yang memuliakan kemanusiaan. Jumlah aksara asalanya 20 tetapi sesuai dengan pelafalanyang berkembang di di kalangan masyarakat Sasak hanya 18 aksara sehingga disebut juga “aksara baluq olas”  yang dalam bahasa Indonesia berarti 18. Aksarav yang tidak digunakan dalam masyarakat Sasak adalah Tha dan dha. Adaptasi pengaruh islam menyebabkan aksara Sasak ini harus mengadaptasi beberapa pelafalan arab tertentu seperti amsah, qaf, dzal, tsa, sywin dan kha menyebabkan perlunya aksara baru. Aksara baru ini disepakati dan distandarisasi aksara Sasak sebagian dari proyerk bantuan mesin susun huruf Sasak tahun 1998, dengan nama kasara rekaan.

Pada dekade 90-an, aksara ini hampir terlupakan (untuk tidak mengatakan punah), hanya hidup di kalangan masyarakat pendukungg takepan tanpa ada ubsur tranmisi antar generasi secara sistematis. Mesin susun huruf itupun akhirnya menjadi benda mati yang tidak dapat difungsikan karena operatornya tidak memahami aksara ini. Tahun 1994 kebijakan kurikulum pendidikan nasionalmemberikan ruang kurikulum muatan local yang cukup besar dengan alokasi waktu 6 jam pelajaran per pecan di jenjang pendidkan dasar. Para pejuang Kurikulum Muatan Lokal yang peduli pada aksara jejawan atau aksara Sasak memasukkan kembali pelajaran Bahasa Sasak sebagai kajian menggunkan   aksara Sasak. Aksara ini kembali diingat keberadaannya oleh masyarakat. Nasibnya yan g bergantung pada kebijakan kurikulum menyebabkan kisah suram kembali keberpihakan kurikulum dan tidak lagi pada Kurikulum Muatan Lokal.

Daftar pustaka:

H.L.Agus Fathurrahman, belajar aksara jejawan, Genius mataram 2013.

http://sdn5montongbaan.blogspot.co.id/2011/12/aksara-sasak.html?m=1

 

                                                                                                                                                         




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline