Lihat ke Halaman Asli

Shock Therapy Untuk Situkang Delay

Diperbarui: 17 Juni 2015   10:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Mau tepat waktu kok bayar murah”, itulah idiom tak resmi yang berlaku diantara penumpang pesawat dan seolah – olah jadi pembenaran bahwa pesawat delay adalah hal yang lumrah, telat 1-2 jam mah biasa. Malah kadang sering terdengar celetukan “Tumben pesawatnya ontime”, sehingga kadang para penumpang suka mepet kebandara sambil berujar, ah paling delay ngapain buru – buru kebandara. Seolah – olah publik sudah maklum kalau harga murah itu berbanding lurus dengan delay dan hanya pesawat full service seperti Garuda yang diwajibkan untuk ontime, singkatnya ada harga ada ketepatan waktu.

Namun persepsi masyarakat yang kadang pasrah seperti inilah yang membuat maskapai sering bertindak seenaknya dalam melakukan penjadwalan pesawat mereka, ah kalau Cuma delay 1-2 jam sih gampanglah, penumpang juga pasrah kalau nanti dikasih tahu. Akibatnya kadang maskapai sering kebablasan dalam mengelola jadwal pesawatnya yang berujung pada penelantaran penumpang dibandara, kadang tanpa informasi dan pelayanan memadai karena seringnya maskapai menganggap sepele masalah pengaturan jadwal ini.

Kasus terakhir yang sampai saat ini terjadi adalah kasus delay berjam – jam yang dialami ribuan calon penumpang Lion Air berbagai jurusan ditanah air sehingga banyak diantara mereka yang terlantar dibandara Soekarno Hatta, bahkan ada yang terlantar belum bisa terbang sejak semalam. Bahkan ada penumpang yang sampai membatalkan rencana liburan karena sudah malas menanti ketidakjelasan nasibnya kapan pesawat Lion Air akan terbang. Saking sering dan parahnya terjadinya delay diLion Air kadang sering terdengar para penumpang yang frustasi mengumpat “Dasar si raja delay” atau “Dasar delay airlines” untuk menumpahkan kemarahan mereka pada Lion Air seperti yang saya alami dulu ketika terbang Semarang – Jakarta dengan siSinga terbang ini.

Tiadanya Shock Teraphy

Masih seringnya pesawat Indonesia yang melakukan keterlambatan jadwal, bahkan yang parah seperti kasus Lion Air selain karena ada faktor kebiasaan dan terkesan pembiaran juga dikarenakan tiadanya shock therapy dari regulator yang membuat maskapai jera untuk mengulanginya. Kebijakan ganti rugi yang wajib diberikan oleh maskapai penerbangan kepada penumpang sebelumnya telah diatur dalam Pasal 36 Peraturan Menteri Perhubungan No. 25 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Angkutan Udara (“Permenhub 25/2008”) dirasa masih sangat ringan, buktinya tidak menimbulkan efek jera dan maskapai tidak kapok mengulanginya bahkan dengan skala yang lebih parah dan massif.

Pemerintah melalui kemenhub seharusnya mencari cara dan hukuman yang lebih effektif dan keras agar membuat maskapai jera dan tidak berani seenaknya dalam pengaturan jadwal pesawat yang berujung pada penelantaran penumpang. Sangsi seharusnya tidak hanya dengan kebijakan ganti rugi tapi harus lebih keras, misal frequensi delay akan masuk dalam komponen audit maskapai yang menentukan rating dan kelayakan terbang maskapai yang bersangkutan. Atau bisa saja diberlakukannya akumulasi pelanggaran yang bisa berbuah hukuman kartu merah dan kuning yang berimbas pada larangan terbang sementara atau bahkan permanen bagi rute atau maskapai yang terlalu sering melakukan delay.

Alternatif shock therapy lainnya adalah pemberlakuan ganti rugi 100% alias terbang gratis bagi maskapai yang mengalami keterlambatan massif dan parah serta tanpa alasan yang jelas, misal bencana alam, faktor cuaca dan kejadian darurat lainnya sehingga maskapai akan menjadi rasional dalam mengatur frequensi dan jadwal pesawat sesuai kemampuan armada dan SDMnya.

Penghapusan tiket murah sebagai pintu masuk

Kebijakan penghapusan tiket murah yang diputuskan kemenhub yang walaupun menjadi polemik, seharusnya juga dibarengi dengan kebijakan untukmenekan maskapai agar lebih memperhatikan faktor keamanan, keselamatan dan kenyamanan penumpang yang dalam hal ini maskapai harus diwajibkan makin tepat waktu dan tidak main – main dengan pengaturan jadwal pesawat terbangnya yang sangat ambisius frequensinya.

Jangan sampai konsumen kembali menjadi korban ganda, sudah bayar lebih mahal akibat dihapuskannya LCC tapi tidak juga mendapatkan peningkatan pelayanan maskapai dan mengalami keterlambatan jadwal yang seringkali parah dan tanpa informasi yang memadai. Ujung – ujungnya penumpang terlantar dan dikorbankan harus pasrah menunggu dibandara tanpa kejelasan kapan bisa terbang. Mereka sudah bayar dan sudah bersiap dibandara sesuai jadwal yang ditetapkan oleh maskapai, masak kemudian ditelantarkan begitu saja dibandara yang kadang lebih tak jelas dibanding menunggu jadwal kereta api distasiun ataupun bis diterminal.

Kalau pemerintah selaku regulator tidak bisa memaksa maskapai untuk lebih tepat waktu maka berarti telah melakukan kezoliman luar biasa kepada calon penumpang pesawat. Sudah memaksa rakyat membayar lebih mahal untuk tiket pesawat tapi tetap saja membiarkannya sebagai korban pesawat delay. Dan yang terpenting kalau masalah ini tidak segera dibenahi jangan disalahkan nanti kalau sampai muncul anekdot dan idiom “Republik delay Indonesia”

Jakarta, 19 Februari 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline