Negeri ini dilanda seribu macam masalah, mulai dari persoalan korupsi yang telah mengakar, buruknya pelayanan publik, rendahnya etika politik, ancaman disintegrasi bangsa, dan yang sekarang menjadi heboh yaitu aksi pembantaian orangutan sampai pada pembantaian manusia.
Beberapa minggu sebelumnya, telah heboh pemberitaan di media massa terkait dugaan aksi pembantaian orangutan di Areal PT. KAM desa Puan Cepak kecamatan Muara Kaman kabupaten Kutai Kartanegara. Aksi pembantaian satwa yang dilindungi tersebut diduga atas perintah dari Manajemen PT. KAM, dan sampai dengan hari ini, hasil penyelidikan polisi telah ditahan 4 orang menjadi terdakwa, dan keempat orang tersebut adalah karyawan PT. KAM. Tentunya kedepan persoalan ini tidak hanya stop sampai disini, namun harus ada langkah kongkrit dari pemerintah daerah atau pemerintah pusat terkait dengan keberlangsungan hidup satwa-satwa liar di kalimantan khususnya di Kutai Kartanegara.
Peristiwa pembantaian orangutan ini tentunya menjadi preseden buruk bagi Kutai Kartanegara dan bangsa ini, dimana orangutan merupakan satwa yang dilindungi oleh negara. Kita tidak pernah tau sudah berapa banyak yang dibantai, bisa saja puluhan atau mungkin sudah ratusan orangutan yang dibantai. Dan tentunya tidak menutup kemungkinan, pembantaian orangutan ini bukan hanya terjadi di areal tersebut, bisa saja di areal lain atau di wilayah lain, karena terdengar kabar bahwa di Kalimantan Tengah juga terjadi pembantaian orangutan.
Sepertinya aksi kekerasan sudah menjadi tontonan biasa di negeri ini, belum terungkap jelas bagaimana pembantaian orangutan di Kutai Kartanegara, sekarang ini kita sudah disuguhkan kembali dengan pemberitaan yang lebih heboh, yaitu dugaan pembantaian manusia di Sungai Sodong, Mesuji, Ogan Komering Ilir.
Belum pasti berapa banyak korban aksi pembantaian tersebut, namun saya pikir sebagian besar masyarakat mengecam aksi pembantaian ini. Peristiwa di Desa Sungai Sodong dipicu oleh konflik tanah, dimana pada tahun 1997 terjadi perjanjian kerjasama antara PT SWA dengan warga, terkait dengan 564 bidang tanah seluas 1070 ha milik warga untuk diplasmakan.
Perjanjian tersebut untuk masa waktu 10 tahun, setelah itu akan dikembalikan lagi kepada warga. Selama kurun waktu 10 tahun, setiap tahunnya warga juga dijanjikan akan mendapat kompensasi. Namun hingga saat ini perusahaan ternyata tidak memenuhi perjanjian tersebut. Akhirnya pada bulan april 2011 masyarakat Sungai Sodong mengambil kembali tanah tersebut melalui pendudukan. Tidak juga mengembalikan tanah tersebut, perusahaan malah menuduh pendudukan tanah warga tersebut sebagai gangguan. Kemudian, pada tanggal 21 april 2011, dua orang warga yakni Indra (ponakan) dan Saytu (paman) sekitar pukul 10.00 WIB keluar rumah berboncengan bertujuan ingin membeli racun hama.
Mereka melewati jalan poros perkebunan warga (bukan wilayah sengketa dan di luar Desa Sungai Sodong). Tidak ada yang mengetahui peristiwanya, tiba-tiba pada pukul 13.00 WIB tersebar kabar ada yang meninggal 2 orang. Berita itu sampai ke warga Sodong termasuk keluarga korban, mendengar berita tersebut, keluarga korban termasuk paman dan adiknya langsung menuju TKP dan menemukan Indra terkapar di jalan dengan luka tersayat lehernya (tidak sampai putus) dan diduga ada 3 luka tembak, dua di dada dan satu di pinggang. Sementara Saytu ditemukan di dekat perkebunan kelapa sawit atau sekitar 70 meter dari jasad Indra, dengan posisi tengkurap dalam keadaan sekarat.
"Saytu lalu ditanya adiknya siapa yang melakukan penganiayaan itu. Saytu menjawab yang melakukan adalah satpam, pam swakarsa, dan aparat," lalu, sekitar pukul 14.00 WIB, sebagian warga mendatangi base camp perusahaan dan berunjuk rasa di situ. Mereka mempertanyakan, serta meminta pertanggujawaban mengapa keluarga mereka dibunuh, menurut pengakuan warga, saat berdemo mereka tidak melakukan tindakan anarkis apalagi melakukan pembunuhan, ungkap Komisioner Komnas HAM, Ridha Saleh [dikutif dari media online Republika, Rabu (21/12)].
Aksi kekerasan semacam ini merupakan tindakan yang tidak beradab, apalagi kalau yang melakukan pembantaian diduga oknum aparat keamanan, mereka seharusnya berkewajiban menjadi pelindung masyarakat, bukan malah menjadi ancaman bagi masyarakat. Negara ini berkewajiban menciptakan rasa aman bagi rakyat, apabila rasa aman tersebut belum terpenuhi, maka bisa dikatakan bahwa pemimpin negara ini telah gagal menciptakan rasa aman bagi rakyatnya.
Apapun alasannya, pembantaian orangutan atau apalagi pembantaian manusia adalah tindakan yang berutal, dan hal ini harus diusut tuntas. Jangan mau aparat keamanan diperbudak oleh para pemilik modal, aparat keamanan harus berada pada posisi yang mendahulukan kepentingan masyarakat, bukan malah mendahulukan kepentingan para pemilik modal.
Selanjutnya peristiwa pembantaian ini, patut menjadi catatan penting bagi pemerintah daerah, khususnya pemerintah daerah Kabupaten Kutai Kartanegara dimana penulis bertempat tinggal, karena banyaknya perusahaan perkebunan dan pertambangan di Kutai Kartanegara, tidak menutup kemungkinan hal serupa di Mesuji bisa terjadi di Kutai Kartanegara, karena kita tahu semakin merebaknya konflik antara perusahaan dan masyarakat di Kutai Kartanegara sehingga pemerintah daerah harus mampu menjadi penengah dan tentunya mengutamakan kepentingan masyarakat bukan mengutamakan kepentingan pemilik modal dalam penyelesaian sengketa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H