Lihat ke Halaman Asli

Hanya Tegar yang Bisa Saingi Kepopuleran Jokowi

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1388246168933756785

[caption id="attachment_301835" align="aligncenter" width="300" caption="Sumber foto: whatindonews.com"][/caption]

Hujan telah menyempurnakan kedatangannya di bulan Desember tahun ini. Fenomena Joko Widodo (Jokowi) dan merajalelanya kasus korupsi menjadi sajian penghangat akhir tahun 2013. Usaha mengcapreskan Jokowi di tahun 2014 merajai pandangan dalam arus opini dan pemikiran yang berkembang.Pendapat yang ada tetap saja berbicara dari sudut pandang, apakah Jokowi mau jadi Capres 2014 nanti ?

Sebagian besar orang Indonesia berprasangka terlalu jauh terhadap Jokowi. Apa mau nyapres atau tidak? Kalo mau tahu, silahkan datangi langsung Mbah Putri di Solo. Karena kepada sang neneklah Jokowi selalu meminta pendapat terkait urusan masyarakat, termasuk urusan politik. Itu kata seorang Ibu asal Solo yang sempat bersama saya dan penumpang lainnya balik ke Tanah Jawa dari Stasiun Senen, naik kereta Begawan tujuan akhir Solojebres. Beberapa waktu yang lalu.

Begitulah cerita perjalanan yang dituliskan kawan saya, yang dituangkan dalam statusnya di facebook, dalam perjalanannya di atas kereta. Pendar pesona Jokowi memang hingar bingar di telinganya. Bolak balik Yogya-Jakarta dalam setiap pekannya.

Ketokohan dan kepopuleran Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) tak perlu diragukan lagi. Jokowi telah mengambil ruang terbanyak untuk dibicarakan dan menjadi pemberitaan media secara umum. Kepopulerannyajuga telah nyata dijagad media sosial dan situs pencariaan Google. Sebagai pejabat publik yang tengah disorot, tentulah ini sebanding dengan animo masyarakat yang mengharapkannya jadi Calon Presiden (Capres) di tahun 2014.

Perjalanan waktu sampai di akhir tahun 2013 nama Jokowi makin menemukan momentum untuk on fire dalam menjejak kakinya di Pilpres 2014. Kemunculannya yang yang seorang diri, tidak diimbangi dengan capres yang sudah resmi atau pun masih digadang-gadang. Justru nama Tegar, seorang pengamen cilik di jalanan yang kini sudah menjadi artis dan menelorkan album, yang mampu mengimbangi kepopuleran Jokowi.

Sebagaimana dirilis Tribun Timur edisi cetak (28/12/2013) tokoh Indonesia yang sering dicari oleh orang Indonesia di Google, menempatkan nama Tegar diurutan ke-2 setelah Jokowi. Data pemeringkatan ini dilansir Google Trends. Google Trends merupakan grafik statistik pencarian web yang menampilkan popularitas topik pencarian sepanjang tahun 2013.

Dari daftar pemeringkatan berdasarkan label tokoh Indonesia dari 10 nama diluar nama Jokowi tidak ada satu pun capres yang masuk 10 besar. Berikut daftarnya :

1.Jokowi

2.Tegar

3.Nikita Mirzani

4.Agnes Monica

5.Dewi Persik

6.Luna Maya

7.Eyang Subur

8.Raffi Ahmad

9.Julia Perez

10.Iwan Fals

Untuk peringkat berdasarkan tokoh secara umum, Paul Walker menjadi urutan teratas bersama Eyang Subur, namun di sini nama Tegar mampu mengalahkan kepopuleran Jokowi. Berikut daftarnya :

1.Paul Walker

2.Eyang Subur

3.Tegar

4.Zaskia Gotik

5.Fatin Shidqia Lubis

6.Vicky Prasetyo

7.Ustadz Jefri

8.Jokowi

9.Raffi Ahmad

10.Cory Monteih

Ruang kepopuleran terkadang dimuati selera dan rasa ingin tahu pembaca terhadap sesuatu yang berbau unik sekaligusmampu menginspirasi banyak orang. Kepopuleran dalam dunia politik mungkin belum menjadi kebutuhan primer untuk diketahui. Dibanding dengan pesona budaya pop yang telah menjejali media televisi. Diluar konteks itu nama Tegar dan Jokowi ternyata mampu mendapat tempat dalam mesin pencarian google dan mendapat apresiasi dalam 10 besar.

Kepopuleran dalam topik pencarian semacam ini dalam pandangan paradigma ilmu sosial budaya selalu berawal dari sejumlah pertanyaan mengenai gejala-gejala tertentu yang dianggap menarik, aneh, menggelisahkan, menakutkan, merugikan dan seterusnya. Untuk membuktikan dugaan-dugaan tertentu secara empiris masih perlu dan ingin dibuktikan kebenarannnya dengan hipotesa.

Berkenaan dengan itu Ahimsa-Putra seperti yang ditulis pada buku “PARADIGMA DAN REVOLUSI ILMU DALAM ANTROPOLOGI BUDAYA; – SKETSA BEBERAPA EPISODE-” berpendapat bahwa terdapat perbedaan antara realita, fakta dan data. Realita adalah segala sesuatu yang dianggap ada. Sementara, fakta didefinisikan sebagai pernyataan tentang realita. Dan data adalah fakta yang relevan, yang berkaitan logis dengan masalah yang ingin dijawab.

Sementara data yang tersaji adalah rentang waktu setahun di 2013. Ke depan bisa saja data itu akan berubah tergantung sejauh mana gejala-gejala tertentu mampu menarik untuk dicari. Bagaimana pun itu, Tegar telah memberi kita pelajaran bahwa untuk populer tidak harus kampanye. Untuk dicintai tidak harus kampanye.

Salama’ki

Catatan Akhir Tahun Kompasioner

Propil dan Baca Juga

Mendagri Melantik Hambit Sudah Tepat, Cuma Kurang Etis

Mandela Terlampau Pahit Menjadi Orang Indonesia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline