Lihat ke Halaman Asli

Aroma Kopi Politisi

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13908248831628063119

[caption id="attachment_308616" align="aligncenter" width="600" caption="Ilustrasi secangkir kopi by astaga.com"][/caption]

Di Setiap tempat, perbincangan politik selalu membadai. Selaksa menikmati kopi, pahit namun enak. Buat saya ditambah susu, makin sip. Apalagi jika politisi ikut di dalamnya. Sebuah pijakan rasional patut dikemukakan di sini bahwa politisi (baca: caleg) selalu merasuki suasana ajang keramaian atau sekadar kongkow. Tak ingin melewatkan momen berharga demi sosialisasi. Seperti matahari dengan sigap menyapa pagi.

Tradisi minum kopi bersama pernah terekam dalam aktivitas Presiden RI pertama, Ir. Soekarno. Untuk dekat dengan rakyat Soekarno pun ikut ngopi sambil mendengar keluhan rakyatnya. Karena suasana egaliter yang tercipta membuat komunikasi bisa terpenuhi dari kedua pihak. Tanpa sekat yang membatasi. Ini pula yang membuat pejabat publik dan politisi kerap menyambangi tempat-tempat santai untuk sekadar ngopi.

[caption id="attachment_308618" align="aligncenter" width="535" caption="Ir. Soekarno ngobrol santai ngopi dengan rakyat (sumber: wordpress.com)"]

13908253301349390774

[/caption]

Jelang pemilihan caleg (pileg) seperti saat ini, maka dengan mudah menemukan politisi di antara pengunjung di warung-warung kopi. Di Makassar, tempatnya dikenal sebagai Warkop. Dari sekian banyak warkop yg ada telah menstimulir strata sosial menyatu dan mengesamping batas yang ada. Maka ditemukan bermunculan warkop berbasis ormas/parpol di Makassar. Menjamurnya warkop-warkop yang ada disinyalir mulai bermunculan saat penghelatan pemilihan Gubernur Sulawesi Selatan tahun lalu.

Keberadaan warkop-warkop punya daya tari tersendiri. Kehadirannya dipenuhi lewat komunitas-komunitas penggila bola dengan ngopi sambil nonton bareng.Warkop telah punya menjadi tempat mencari berita bagi para jurnalis media, baik media lokal maupun nasional.. Celah ini menjadikan wahana bagi pejabat publik dan politisi unjuk diri. Maka dengan mudah ditemukan warkop menjadi tempat kegiatan forum-forum diskusi publik. Termasuk konferensi pers, karena jurnalis juga menjadi pelanggan setia warkop.

Ketersediaan warkop sebagai wahana pendidikan politik, tetap saja mengambil jarak. Politisi dengan jargon berikut visi misinya dan masyakat dengan pikirannya. Namun seduhan kopi telah membuat mereka bersepakat, aroma kopi itu jujur. Tidak dibuat-buat apalagi direkayasa. Menikmati segelas kopi sambil merasakan ekspresi senyum para caleg. Meski kadang fragmen politiknya sulit diraba. Paling tidak senyum para caleg lewat baliho akan diuji dan akan terlihat siapa yang benar-benar tersenyum.

Teksture politik yang memanfaatkan gesture keluguan tidak terlalu nampak. Namun bahasa peng-iba kerap menjadi ucapan pemanis, semacam : bantuka dulue, bantuka kodong, kita mami yang bisa bantuka. Meski tidak semua menghinggapi caleg, paling tidak saat ini, pertemanan menjadi begitu istimewa. Minum kopipun jadi terasa istimewa.

Terakhir saya ingin mengutip Burhanuddin Muhtadi via twitter-nya. Dia pernah menuliskan: ‘negarawan memperlakukan kekuasaan sebatas air tawar, cukup utk melepas dahaga’. Maka politisi memperlakukan kekuasaan laksana minum kopi susu. Merasakan pahit dan manisnya bersama-sama. Itulah kenikmatan minum kopi bersama politisi. Untuk tidak menciptakan kegaduhan politik tanpa makna, maka bolehlah saya menuliskannya sambil ditemani secangkir kopi susu. Aroma kopi itu jujur diminum politisi sekalipun.

Salam hangat

Profil dan Bacaan Terkait

Catatan Anas : Hanya Perlu Dijawab Secara Hukum




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline