Lihat ke Halaman Asli

Wahyu Cipto Utomo

Penulis amatir

Krisis Petani Terjadi pada Tahun 2060, Mengapa Bisa Terjadi?

Diperbarui: 30 Maret 2021   11:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

foto pribadi

Pekan lalu Bappenas memprediksi pada tahun 2060, Indonesia akan kehilangan profesi petani. Hal tersebut terungkap dari proyeksi penurunan jumlah petani yang menurun drastis selama beberapa dasawarsa terakhir. Penurunan jumlah petani yang kian memprihatinkan ini akan terjadi hampir di seluruh daerah di Indonesia. Banyak faktor yang memicu cepatnya penurunan jumlah petani di bumi pertiwi.

Luas lahan pertanian yang semakin menurun dan penguasaan lahan yang sempit oleh petani menjadi persoalan utama. Adanya alih fungsi lahan akibat pembangunan kawasan industri dan pemenuhan kebutuhan tempat tinggal menjadi semakin cepatnya kehilangan kawasan hijau pertanian. Alih fungsi lahan pertanian untuk tempat tinggal akan terus bertambah mengingat jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2050 akan mencapai lebih dari 300 juta penduduk.

Alih fungsi lahan memiliki dampak yang serius pada penurunan luas lahan pertanian, penurunan tingkat produksi komoditas pertanian dan akan merusak keseimbangan lingkungan lainnya. Penggunaan lahan yang tidak peruntukkannya merupakan suatu bentuk pelanggaran terhadap rencana tata ruang wilayah suatu daerah. Pengawasan terhadap perizinan mendirikan bangunan (IMB) harus sejalan dengan rencana tata ruang wilayah yang telah ditetapkan beberapa tahun yang lalu. Akan tetapi yang terjadi di lapangan berkebalikan, terdapat IMB yang diberikan setelah bangunan berdiri. IMB seolah menjadi kebijakan yang lebih tinggi dibanding rencana tata ruang itu sendiri, yang mana pada implementasi di lapangan setelah IMB diberikan maka rencana tata ruang turut direvisi dengan memasukkan alih fungsi lahan di dalamnya tanpa ada pengganti lahan hijau baru.

Prinsip keseimbangan lingkungan, ketika lahan hijau pertanian dialih fungsikan maka harus ada pengganti lahan hijau di tempat lain dengan luas yang sama. Konsekuensi atas prinsip tersebut membuat pemenuhan penggantian lahan hijau pertanian hanya bisa tercapai dengan pembukaan tanah hutan. Akan menjadi sebuah lingkaran setan untuk memenuhi kebutuhan lahan pertanian yang harus diganti dengan membuka lahan hutan sama saja akan merusak keseimbangan ekosistem yang justru akan mendatangkan masalah baru yakni kelestarian flora dan fauna di hutan tersebut.

Penyebab lain yakni motivasi menjadi seorang petani kian menurun. Generasi muda tidak tertarik menjadi petani karena melihat sektor pertanian justru mengalami kemunduran. Tidak ada pengelolaan untuk meregenerasi petani melalui kebijakan prioritas nasional. Kebijakan hanya sebatas pada subsidi pupuk dan bantuan benih. Tetapi di sisi lain justru pemerintah tidak mampu mengendalikan harga pasar yang rendah di tingkat petani dan terpaut tinggi di tingkat konsumen. Kebijakan penyerapan beras oleh Bulog dinilai kontraproduktif karena justru melindungi pedagang dan tengkulak daripada petani itu sendiri. Seharusnya Bulog menyerap gabah petani dengan harga yang kompetitif dan menggiling beras sendiri lalu mengedarkan ke masyarakat untuk mengendalikan harga beras di pasar. Kebijakan ini akan sangat bermanfaat bagi petani dan masyarakat.

Persoalan biaya produksi yang tinggi dan harga jual komoditas rendah di tingkat petani menjadi penghambat petani untuk tetap bertani. Hal ini diperparah dengan wacana impor pangan yang kerap menjadi momok menakutkan dan merusak harga di pasar. Psikologis pasar akan merespon dengan cepat dengan turunnya harga secara signifikan termasuk harga komoditas di tingkat petani. Meskipun hanya wacana belum terdapat barang yang masuk ke Indonesia, petani sudah menanggung kerugian atas wacana tersebut.

Luas lahan pertanian yang semakin menurun dan penurunan jumlah petani di tahun-tahun mendatang akan menyebabkan peningkatan impor pangan. Peningkatan impor pangan dipicu juga dengan bertambahnya jumlah penduduk sehingga kebutuhan pangan meningkat. Harga pangan impor yang relatif murah pada satu titik menyebabkan petani akan menyerah dan lebih memilih profesi lain. Akan tetapi di saat penduduk dunia mencapai 10 milyar di tahun 2050, kebutuhan pangan semakin meningkat dan persaingan mendapatkan pangan semakin ketat. Akan banyak negara yang memproteksi dan membatasi ekspor pangan. Hal tersebut akan berdampak buruk bagi Indonesia apabila membiarkan penurunan jumlah petani, impor pangan dan alih fungsi lahan.

Keadaan sulit di masa mendatang akan terakumulasi dan menjadi krisis ekonomi naiknya harga pangan. Penyiapan regenerasi petani dan penyediaan lahan pertanian baru tidak bisa secara serta merta tiba-tiba dalam waktu singkat. Sementara "makan adalah kebutuhan hari ini dan esok hari bukan bulan depan atau tahun depan”. Pengadaan lahan pertanian baru juga akan berpotensi pada persoalan lingkungan yang ditimbulkan antara lain banjir, tanah longsor dan perubahan iklim.

Bappenas telah memprediksi, tinggal bagaimana pemerinah secara umum bersatu padu mengantisipasi persoalan yang akan timbul manakala pemerintah mengabaikan dan tidak mengelola sektor pertanian dengan sungguh-sungguh. Negara harus meregenerasi petani, menghentikan laju alih fungsi lahan, meningkatkan produktifitas lahan pertanian, mengaktifkan lahan pertanian yang terbengkalai, memberikan perlindungan terhadap petani, melarang impor untuk komoditas tertentu, diversifikasi pangan dan kemandirian pangan untuk kesejahteraan masyarakat.

Author: Wahyu Cipto Utomo (CIPTANI Group)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline