Lihat ke Halaman Asli

Wahyu Chandra

Jurnalis dan blogger

Dirgahayu RI ke-71, Masyarakat Adat Kembali Tagih Jokowi

Diperbarui: 18 Agustus 2016   17:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Abdon Nababan, Sekjen AMAN (Foto: Wahyu Chandra)

Selama 71 tahun Indonesia merdeka, namun masyarakat adat belum merasakan sepenuhnya kehadiran negara.

“Untuk itu kami menuntut DPR RI Mengesahkan RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat dan kepada Presiden Jokowi segera membentuk Satgas Masyarakat Adat,” ungkap Abdon Nababan, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) pada peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-71 di tahun 2016 ini.

Menurutnya, meski UUD 1945 mengakui hak-hak masyarakat adat namun hingga saat ini belum ada UU yang secara khusus mengatur bagaimana Hak-hak Konstitusional Masyarakat Adat dipenuhi, dimajukan dan dilindungi. Akibatnya adalah: perampasan tanah, wilayah dan sumberdaya Masyarakat Adat. 

“Dalam banyak kasus perampasan diwarnai dengan pelanggaran HAM: dibunuh, diusir dari tanah leluhur, dikiriminalisasi, diintimidasi,” ujarnya.

Data dari AMAN menunjukkan setidaknya tedapat 2017 pemimpin dan aktifis masyarakat Adat yang menjadi korban kriminalisasi karena mempertahankan tanah leluhur mereka. Inquiry Nasional oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menunjukkan adanya Pelanggaran HAM terhadap masyarakat adat. 

Menurut Abdon, Masyarakat Adat diatur dalam berbagai undang-undang sektoral yang saling tumpang tindih dan bahkan ada yang saling bertentangan. Masyarakat adat hanya ditempatkan dalam konteks sektoral. Urusan Administrasi sebagai warga negara kami berhadapan dengan Kementrian Dalam Negri.

“Kami yang masuk dalam kawasan hutan berhadapan dengan Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (sebelumnya Kementrian Kehutanan). Yang di luar kawasan hutan harus berhadapan dengan Kementrian Tata Ruang dan Agraria (dulu BPN). Yang dianggap hidup di kawasan terpencil berhadapan dengan Kementrian Sosial.”

Selain itu, agama leluhur juga tidak diakui. Para penganut agama leluhur dianggap tidak berhak mendapat KTP. Dampaknya adalah tidak adanya akses terhadap layanan publik yang mewajibkan KTP. Perkawinan secara agama leluhur juga tidak diakui, maka anak-anak pun dianggap sebagai anak haram.

Banyak di antara masyarakat adat yang terpaksa mencantumkan satu di antara agama resmi di Indonesia – demi akses ke layanan publik. Masyarakat yang beragama leluhur tidak pernah menjadi warga negara yang SAH.

“Kami hadir di permukaan dalam wajah konflik atau sekedar aksesoris seremoni dalam bentuk tari-tarian, nyanyian, musik dll. Hingga saat ini kami mendapat berbagai penghargaan terus dari Pemerintah. Yang tidak pernah kami dapat sejak Indonesia Merdeka 71 tahun lalu adalah pengakuan hukum sebagai masyarakat adat.”




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline