Lihat ke Halaman Asli

Wahyu Chandra

Jurnalis dan blogger

Ingin Saingi Facebook, Pemuda Ini Bikin Koran Desa

Diperbarui: 17 Juni 2015   06:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14319090111969618337

[caption id="attachment_366341" align="aligncenter" width="372" caption="Rijal mencoba berbagi informasi di desanya dengan membuat koran desa yang sangat sederhana (Foto: Wahyu Chandra)"][/caption]

Tinggal di desa yang jauh dari akses informasi ternyata bukanlah penghalang untuk tetap bisa berkembang. Jika tak bisa mengakses informasi, kenapa tak ciptakan sendiri informasi itu. Begitulah kira-kira yang ada di benak Khaerul Rijal, pemuda dari Desa Bonto Manai, Kecamatan Labakkang, Kabupaten Pangkajene Kepulauan (Pangkep), Sulawesi Selatan, ketika memutuskan membuat Koran Desa di desanya.

Secara berkelakar ia menyatakan ingin menyaingi Facebook mesti hanya skala desa saja.

“Saingan Facebook di desa lah. Di sini informasi sangat sulit. Koran-koran juga tak mudah diperoleh karena agak jauh dari kota,” katanya akhir April 2015 lalu.

Rijal sendiri rajin menggunakan Facebook meski untuk mendapat akses internet ia harus berkendaraan jauh ke jalan poros Kecamatan, satu-satunya Warung Internet (Warnet) yang ada di daerah itu.

Koran Desa yang dibuat Rijal bentuknya sederhana. Hanya selembar kartun kusam yang tak terpakai. Di dalam selembaran karton itulah dia menulis profil petani-petani yang pada saat itu sukses dalam panen.

“Ini semacam berbagai inspirasi kepada petani lain, karena umumnya petani baru akan mau mengikuti saran penyuluhan kalau sudah melihat hasil,” katanya.

Koran desa ini ternyata cukup efektif menarik minat warga. Apalagi warga yang profil dan fotonya dipampang di Koran Desa akan senang sekali dan turut membaginya ke petani lain. Tak jarang ada yang meminta agar dicetak lagi.

Rijal sebenarnya mau mencetak lebih banyak dengan jumlah halaman yang lebih banyak juga tapi ia tekendala pada biaya.

Sekali cetak ia paling hanya mencetak 20-30 eksemplar saja menggunakan mesin sablon yang dibelinya beberapa bulan lalu. Mesin sablon ini adalah salah satu jenis usaha yang dimilikinya untuk cetak baju dan Pin.

“Mumpun ada mesin sablon jadi sekalian saja dimanfaatkan untuk hal-hal lain yang bisa berguna.”

Antusias warga juga terlihat dari banyaknya permintaan agar Koran itu bisa lebih sering terbit. Dalam sebulan paling ia hanya bisa mencetak satu atau dua kali saja. Rijal juga masih merasa kesulitan dalam menulis, sehingga ia berharap kelak bisa mengikuti pelatihan menulis atau pelatihan jurnalistik.

“Kalau ada pelatihan jurnalistik tolong saya diajak juga. Bahasa di Koran itu masih kacau-kacau.”

Kreatifitas Rijal ternyata tidak hanya sebatas itu. Setiap kegiatan yang diikutinya selalu diupayakan untuk didokumentasikan dalam bentuk foto dan video dengan menggunakan karena pocket. Ia juga memanfaatkan ruang tamunya sekaligus sebagai ruang baca. Di sebuah lemari kecil terlihat tumpukan buku-buku, meski sebagian besar adalah buku tua milik orang tuanya.

“Setiap hari ada anak-anak sekolah yang datang untuk membaca. Koleksi buku juga masih terbatas. Sebagian adalah buku-buku agama. Buku untuk anak-anak sebenarnya terbatas, tapi banyak juga yang datang membaca.”

Ia bermimpi bisa membangun tempat baca yang lebih besar lagi. Apalagi ia melihat minat anak-anak sekolah di desanya untuk membaca besar sekali. Ini berbeda dengan kondisi desa beerapa tahun sebelumnya yang sempat tertinggal dan terbelakang dari segi pendidikan dibanding desa-desa lain.

“Dulu yang sekolah di sini, apalagi yang sampai lanjut kuliah sangat sedikit sekali. Banyak yang putus sekolah, mungkin karena akses pendidikan yang jauh. Sekarang sudah jauh lebih baik.”

Rijal sendiri saat ini masih sementara kuliah di Politeknik Pertanian Pangkep. Kuliahnya sempat terhambat karena kesibukan, namun ia optimis masih bisa menyelesaikannya secepatnya.

Kreatifitas Rijal juga terlihat dari keaktifannya pada berbagai organisasi di desanya. Ia bahkan kini tercatat sebagai sekretaris Kelompok Mattoangin, salah satu kelompok usaha dampingan program Restoring Coastal Livelihood (RCL) Oxfam di desanya.

Selain mendampingi petani untuk pertanian organic, ia juga membantu unit usaha pembuatan nugget ikan bandeng dan bandeng cabut tulang di kelompok itu.

Keaktifannya dalam program RCL Oxfam beberapa tahun terakhir diakuinya banyak memberi pengalaman dan pengetahuan yang berharga, baik melalui pembelajaran di lapangan maupun melalui pelatihan-pelatihan yang diselenggarakan oleh Oxfam.

“Banyak ilmu dan pengetahuan baru dan ini penting bagi petani di desa kami. Senang juga bisa ikut membagi pengetahuan itu ke petani-petani lain.”

Tidak hanya sekedar teori, ia pun membuktikan komitmennya dalam pembelajaran organic dengan membuat sepetak kebun organic di belakang rumahnya dimana ia menanam kangkung, cabe, tomat dan tanaman sayuran lainnya.

“Dulu tanah ini tak terpakai jadi sekarang dimanfaatkan untuk belajar. Hasilnya juga tak seberapa,” tandasnya sambil tertawa kecil. (Why)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline