Lihat ke Halaman Asli

Wahyu Chandra

Jurnalis dan blogger

Beragam Cara Memaknai Perbedaan 1 Syawal

Diperbarui: 26 Juni 2015   02:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sekitar pukul 8.00 pagi, Haji Nurdin pulang tergopoh-gopoh ke rumahnya. Mendengar keputusan pemerintah terkait penetapan1 Syawal 1432H jatuh pada tanggal 31 Agustus semalam di tv, ia telah memutuskan untuk tetap melanjutkan puasa keesokan harinya. Tapi ketika pagi harinya ia mendengar kalau shalat ied telah dilakukan di Mekkah Saudi Arabia, ia pun memutuskan untuk membatalkan puasanya hari ini.

“Kalau di Mekkah sudah lebaran, maka kita wajib mengikutinya,” katanya pada istrinya yang mempertanyakan keputusannya membatalkan puasanya di pagi hari.

Macam-macam sikap masyarakat dalam menyikapi perbedaan penetapan 1 Syawal tahun ini. Sebagian besar jamaah Muhammadiyah dipastikan akan lebaran lebih dini, yaitu 30 Agustus 2011, sementara sebagian yang lainnya memutuskan untuk berlebaran sesuai dengan keputusan pemerintah. Dan ada juga, yang saya pikir cukup banyak, menganut aliran ‘jalan tengah’, yaitu berlebaran di tanggap 31 Agustus, namun tidak lagi berpuasa di tanggal 30 Agustus. Ini disebut sebagai strategi cari aman, karena adanya ketakutan berpuasa di tanggal 30 Agustus, namun di sisi lain ingin menikmati kemeriahan berlebaran di tanggal 31 agustus.

Yang menarik adalah pada tahun ini perbedaan penetapan 1 syawal lebih ‘terasa’ dibanding masa-masa sebelumnya. Dulu, Muhammadiyah senantiasa mendapat sorotan masyarakat ketika mengambil sikap berbeda dengan pemerintah. Dulu, tak banyak yang mempertanyakan secara kritis adanya perbedaan-perbedaan ini. Tahun ini terasa sangat berbeda suasananya, entah itu menunjukkan tingkat kedewasaan dan kritisme masyarakat atau karena faktor-faktor lainnya.

Saya menemukan banyak teman sejawat ataupun keluarga yang tidak memiliki darah ‘Muhammadiyah’ tapi secara tegas menyatakan mendukung lebaran versi Muhammadiyah. Salah satu faktor dukungan ini mungkin pada kenyataan bahwa memang pada kalender islam yang berlaku dan digunakanmasyarakat saat ini memang mencantumkan tanggal 30 Agustus sebagai 1 Syawal 1432H. Alasan lainnya adalah kenyataan bahwa sebagian besar Negara muslim tetangga Indonesia, yang berbeda hanya beberapa jam saja sudah menetapkan 1 Syawal lebih dini. Bahkan Mekkah, sebagai pusat islam dunia juga telah menetapkan berlebaran pada 30 Agustus, padahal perbedaan waktu dengan Indonesia hanyalah4 jam.

Kalau tahun-tahun sebelumnya Muhammadiyah banyak dikecam karena perbedaan sikapnya, tahun ini justru saya merasa sebaliknya. Setidaknya itu sayabaca di status-status yang bersileweran di facebook dan twitter.

Seorang teman di facebook, Pepih Nugraha misalnya menulis, :

“Singapura, malaysia, thailand, brunei di kawasan asia tenggara dan arab saudi di timur tengah menetapkan 1 syawal hari ini, hanya pemerintah indonesia yang benar2 menyempal, menunjukkan betapa rendahnya keilmuan para ulama kita yang sudah ternodai politisasi rendahan... bagaimana mungkin beda 1 jam dgn malaysia dkk bisa berarti beda 1 hari jika pakai tanggal islam.”

Status ini dipastikan mendapat banyak tanggapan, karena selain ditulis oleh seorang jurnalis dengan pertemanan dari berbagai kalangan, juga ada nada ‘ketus’ dalam status ini, ada nada kritis dan kekecewaan di dalamnya. Sebagian besar menyatakan sepakat dengan pendapat ini, dan ada juga sebagian kecil yang bersikap moderat dan tentunya adapula yang tidak sepakat dengan justifikasi penulis pesan, serta cara pesan itu disampaikan.

Ada satu tanggapan yang cukup menarik dalam status ini:

Aneeh memang, yang lebih menyedihkan para ilmuwan "digiring" untuk keputusan pemerintah....bahkan ilmuwan itu menyudutkan pendapat minoritas yang mengatakan metode penetapannya konvensional...masya Allah

Tanggapan ini setidaknya menunjukkan bahwa keputusan pemerintah akan penetapan 1 Syawal 1432H bukan lagi didasarkan pada keinginan dan niat murni dari pemerintah dengan motif keagamaan namun ada ‘sesuatu’ bernada kekuasaan di dalamnya. Tersirat adanya tudingan bahwa keputusan pemerintah adalah stir dari kelompok-kelompok tertentu yang punya akses yang besar akan kekuasaan dan berpretensi mengabaikan pandangan-pandangan minoritas. Pemerintah bahkan dinilai telah ‘berselingkuh’ dengan ilmuan demi menegaskan supremasinya.

Secaralebih luas dapat disimpulkan bahwa masalah ‘hilal’ ini telah merambah ranah social, politik dan budaya masyarakat secara lebih luas. Bukan lagi semata-mata klaim keagamaan semata.

Sebuah pendapat lain di status ini menegaskan hal ini, yaitu: leres pisan kang, semua sudah dipolitisir demi kepentingan beberapa pihak dan golongan... saya muak dengan perpolitikan negeri ini. semoga Allah memberikan peringatan yang pedih bagi petinggi2 bangsa yang selalu berdalih atas kepentingan rakyat *dan agama*

Atau sebuah tanggapan lainnya: sungguh menyedihkan hari kemenangan buat umat islam aja sampai dipakai alat politik dan kepentingan golongan.

Secara social ekonomi, ini juga merambah pada anggapan masyarakat akan semakin terkapitalisasinya para ulama. Ini tercermin dalam tanggapan lainnya: Mengenaskan kualitas ulama kita, dan parahnya selama Ramadhan ikut2an tampil ke acara televisi .....dan cengengesan, bagaimana bisa cerdas. Perlu reformasi total untuk kualitas ulama.

Apakah para pengkritik ini adalah seorang Muhammadiyah? Saya tidak begitu yakin akan hal itu. Penulis status ini menegaskannya pada tanggapan baliknya kemudian:

Minal aidin wal faidin, maaf lahir dan batin... Saya terkesan dg komentar teman2 di sini yg saling mengingatkan, juga mengingatkan saya... Saya bertanya mengapa hasil keputusan ulama/pemerintah itu sangat berbeda dgn negara Asean yg hanya beda 1 jam tapi jadi beda 1 hari kalau menggunakan hijriyah. Alam semesta atas kuasa-Nya penuh keteraturan, sebab kalau sedikit kacau, bisa berarti kiamat. Dgn ilmu, manusia bisa memastikan datangnya gerhana matahari total meski rotasinya ratusan tahun, bisa meramalkan jarak terdekat bumi-bulan, lantas btp sulitnya menetapkan 1 syawal yang datangnya tiap tahun? Saya heran kenapa cara hilal yg mengandalkan mata telanjang tetap dipertahankan, sementara ada alat canggih dengan hitungan matematis yg eksak dan lebih akurat? Saya bukan muhammadiyah, tapi coba lihat bagaimana ulama istbat menafikan pendapat lain. Di sini saya melihat "perang" pengaruh antaraliran dalam penentuan 1 syawal.

Di tanggapan di atas tercermin sebuah kritik yang ironis pada pendekatan kekuasaan yang dilakukan pemerintah dalam memutuskan 1 Syawal, dan pengkritiknya bukanlah seorang Muhammadiyah. Dia adalah seorang masyarakat yang merasa miris dengan kondisi yang terjadi.

Ada suatu tuduhan yang cukup menarik terkait ini, yang saya baca dari status lain. Kenapa pemerintah menetapkan tanggal 31 Agustus, bukannya 30 Agustus seperti Negara-nagara lain? Jawab Anggi S ugart: Krn enggan sejalan dgn muhammadiyah yg slalu tepat perhtunganx .

Tuduhannya jelas, bahwa sikap pemerintah dalam penetapan 1 Syawal bukan lagi karena perhitungan keagamaan tapi semata-mata agar tidak sama dengan Muhammadiyah. Ini tuduhan yang saya pikir banyak berkembang di masyarakat sekarang ini.

Di tengah semua perbedaan itu, saya tidak melihat adanya rongga konflik yang terbuka luas. Masyarakat sudah cukup dewasa dalam menyikapi perbedaan. Setidaknya saya tidak menemukan kasus adanya laskar FPI yang merazia orang yang tidak berlebaran sesuai dengan keyakinannya.

Salam Kompasiana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline