Lihat ke Halaman Asli

Wahyu Chandra

Jurnalis dan blogger

China Megatrends

Diperbarui: 26 Juni 2015   11:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Judul Buku: China’s Megatrends: 8 Pilar yang Membuat Dahsyat China

Judul Asli: China’s Megatrends

Penulis: John and Doris Naisbitt

Penerjemah: Hendro Prasetyo

Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama

Tahun Terbit: 2010

Cetakan: I

Jumlah Hal: xxv+255

Peresensi: Wahyu Chandra

Pada tahun 1982, John Naisbitt menghebohkan dunia dengan karyanya berjudul Megatrends. Buku ini berada dalam daftar buku terlaris versi New York Times selama lebih dari dua tahun, dan secara global menikmati kesuksesan yang sangat luar biasa. Di China saja, buku ini terjual sebanyak 20 juta eksemplar. Bahkan boleh dikata buku itu telah menjadi motivasi tersendiri bagi kelompok masyarakat menengah ke atas di China. “Anda tak tahu betapa terkenalnya anda di China,” seloroh Presiden Jiang kepada Naisbitt, sebagaimana diceritakan Naisbitt dalam pengantar buku terbarunya “China’s Megatrends”.

China memang negara yang luar biasa dalam dua dekade terakhir ini. Negara berideologi politik komunis ini secara berani melakukan reformasi di bidang ekonomi dengan mengadopsi sistem ekonomi liberal. Suatu hal yang tabu bagi negara-negara penganut faham komunis. Uni Sovyet ketika mencoba melakukan hal yang sama tak berdaya menahan goncangan dan berakhir dengan ambruknya negara ini menjadi pecahan-pecahan, dan begitu sulit untuk bangkit kembali hingga saat ini.

China di saat yang sama menikmati pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi, justru ketika negara-negara lain anjlok dilanda krisis global. China tidak hanya sukses secara pertumbuhan ekonomi, namun perlahan mampu menciptakan pemerataan pembangunan. Angka pengangguran negara ini perlahan menurun seiring dengan semakin terbukanya industri dan lapangan kerja. Korupsi pun berhasil ditekan seiring dengan kebijakan hukuman mati bagi pelaku korupsi. Tak ada yang pernah menyangka bahwa dalam kerangkeng sistem politik yang tertutup, masyarakat China justru menikmati tingkat kesejahteraan ekonomi yang luar biasa.

Menurut Naisbitt (h.xviii), China menciptakan masyarakat sosial dan ekonomi yang sama sekali baru dengan ‘budaya perusahaan’ yang melayani kebutuhan perusahaan serta orang-orangnya dalam alurnya sendiri menuju modernitas dan kesejahteraan. Deng (Deng Xiaoping), bapak China modern, sejak awal menciptakan pendekatan ala China untuk menyehatkan kembali China yang sakit. Hal ini, menurut Naisbitt, menimbulkan banyak perselisihan, baik di dalam maupun di luar negeri China, mengenai kesesuaian politisnya. Kesalahpahaman ini berasal dari interpretasi atas kata-kata mutiaranya yang terkenal, “Tidak perduli apakah kucing itu hitam atau putih, yang penting dia dapat menangkap tikus.”

Bagi Deng, lanjut Naisbitt, pertanyaannya bukan apakah komunisme atau kapitalisme yang terbaik bagi China; pertanyaan sebenarnya adalah mana yang efektif dan mana yang tidak bagi bangsa itu untuk meraih potensinya pada masa mendatang. Maka pertanyaan apakah China negara kapitalis berjubah komunis atau negara komunis berjubah kapitalis tidaklah benar. China bukan salah satunya, tetapi kedua-keduanya.

Naisbitt selanjutnya mengkritik cara pandang Barat selama ini. Menurutnya orang Barat suka memandang ‘reformasi dan pembukaan diri’ China menurut pola pikir Barat—dengan keyakinan bahwa model Barat adalah bentuk pemerintahan terbaik. Pendekatan ini dinilai hanya akan berujung pada kekecewaan dan harapan yang tidak realistis. Jawabannya bukan ideologi tetapi pada kinerja.

Kebangkitan China dan ketertinggalan Barat menurut Naisbitt bukanlah tanpa sebab. Menurut Naisbitt, Barat dengan senang hati mendukung esai Francis Fukuyama, “The End Of Histrory” (1989 dan 1992), saat dia menulis model demokrasi Barat mungkin adalah tahap final evolusi sosial budaya manusia dan bentuk akhir pemerintahan. Hal ini mengarahkan pada pemikiran ‘misionaris’ dan meningkatkan rasa keterpanggilan untuk mensejahterakan semua bangsa dengan nilai-nilai Barat tersebut. Namun apa yang dianggap sebagai ‘dukungan’ untuk mencapai tingkat evolusi Barat seringkali diterima negara-negara lain sebagai ‘ceramah’ belaka. China di sisi lain sangat menyadari bahwa dirinya baru setengah jalan sehingga masih perlu melakukan koreksi, perbaikan dan penambahan. Keyakinan inilah yang membentuk China menjadi masyarakat pembelajar, terbuka dengan semua teori atau praktik yang bermanfaat bagi tujuannya.

Pada akhirnya, dalam buku ini Naisbitt menjelaskan 8 pilar yang membuat China mampu muncul sebagai negara tangguh di antara negara-negara lain, antara lain: 1) emansipasi pikiran, 2) penyeimbangan top-down dan bottom-up, 3) membingkai hutan dan membiarkan pepohonan tumbuh, 4) menyeberangi sungai dengan merasakan bebatuan, 5) persemaian artistik dan intelektual, 6) bergabung dengan dunia, 7) kebebasan dan keadilan, 8) dari medali emas olimpiade menuju hadiah nobel.

Kedelapan pilar inilah yang menggerakkan China dan menjadi sistem baru China. Meski Naisbitt mengakui Barat masih jauh di depan China namun menurutnya China sudah menjadi persaing setara di pasar global dan tengah menciptakan model politik tandingan bagi demokrasi modern Barat, yang sesuai dengan sejarah masyarakat China—seperti halnya Amerika menciptakan model yang sesuai dengan sejarah dan masyarakatnya lebih dari 2000 tahun lalu. []

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline