Lihat ke Halaman Asli

Wahyu Chandra

Jurnalis dan blogger

Sang Malaikat Maut (22-Tamat)

Diperbarui: 26 Juni 2015   18:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Sebuah sms membuat wajahnya sumringah dan isi pesannya benar-benar melegakan hatinya. Maya menanyakan keberadaannya dan bertanya apa mereka bisa bertemu. Baru saja Coki akan membalas pesan itu ketika pesan lain datang. Lagi-lagi dari Maya. Ia ingin bertemu saja di rumahnya kontrakannya saat itu juga. Coki benar-benar bingung bercampur senang. Ia tak punya gambaran tujuan dari pertemuan itu. Ia menyanggupi dan menyatakan akan segera menuju rumah kontrakannya. Jalanan yang macet membuatnya agak telat sampai di rumah. Di kejauhan ia sudah melihat motor Maya terparkir di depan rumah kontrakannya. Tiba di depan rumah, terlihat Maya sedang mengobrol dengan salah seorang tetangganya. Maya berdiri tersenyum ringkih menyambutnya dan menyerahkan sebuah surat yang bertuliskan namanya. Untuk sesaat Coki merasa bingung, namun ia segera menerima surat itu dan membolak-balikannya mencari nama dan alamat pengirim.

“Seseorang menitipkan surat ini di sekolah barusan dan harus segera diberikan padamu karena katanya sangat penting.” Nada suara Maya terdengar canggung.

Coki benar-benar bingung. Ia duduk di kursi sebelah kursi Maya yang juga segera duduk. Tetangga Coki yang menemani Maya sudah berlalu dari tempat itu.

“Siapa?”

Maya menggeleng, “Mungkin aku yang harus bertanya demikian,” terdengar nada dingin di suara Maya. Ada getaran kecil di sana.

Coki menatap heran ke Maya menunjukkan ketidakmengertiannya, dan Maya berujar kemudian, “Ia menitipkannya pada seorang siswaku dan aku tidak sempat menanyakan ciri-ciri orang yang menitipkan surat itu. Kalau ini bagian dari permainanmu, maka ini benar-benar tidak lucu.”

Coki menjadi semakin heran. Ia menatap sendu ke Maya seakan ingin berkata ‘sumpah, bukan aku yang mengirim surat ini pada diriku sendiri’. Maya tampaknya percaya dengan tatapan heran dan tak berdaya itu, namun ia tetap menunjukkan sikap dingin. Ia harus menunjukkan sikap ketegaran dan tak mudah dibodohi.

Coki pun segera membaca surat itu. Sepertinya ditulis secara tergesa-gesa. Ia membaca isinya:

Bapak Surahman atau Coki atau siapapun anda sekarang. Turut berduka cita dengan apa yang telah menimpa istri anda setahun silam. Ia pasti sangat bahagia kini di alam sana, sesuatu yang selalu diinginkannya. Apakah anda tahu bagaimana ia mati? Atau tepatnya apakah anda ingin tahu bagaimana ia mati? Saya maupun anda sama yakinnya bahwa kematiannya tidak benar-benar seperti yang terlihat. Apakah anda tidak punya keinginan untuk mengetahui hal yang sebenarnya terjadi? Saya dengan bangga mengatakan berada di sana ketika kematian meradangnya. Apakah anda tidak tergelitik untuk mengetahui apa yang diucapkannya menjelang kematiannya? Apakah anda tahu apa yang benar-benar diinginkannya selama ini? Kebenaran mungkin terasa pahit namun tetap penting untuk mengetahuinya. Saya mungkin bisa memberi jawab atas semua itu dan semuanya bisa saya berikan secara gratis. Anda hanya perlu bertemu dengan saya di tempat yang saya inginkan. Permintaan saya hanya satu, ajaklah wanita cantik yang kini berada di depan anda. Jika anda menolak mengabulkannya, maka lupakan saja dengan pertemuan itu ataupun isi surat ini. Saya berharap anda cukup bijak dalam memutuskan pilihan yang akan anda pilih. Sekali lagi, kebenaran mungkin memang akan terasa pahit, tapi setiap orang akan tetap meraihnya karena kebenaranlah yang bisa membebaskan anda dari belenggu masa lalu dan itu bisa berarti anda harus mengorbankan masa depan anda. Pilihan akan selalu berada di tangan anda. Trims.

Nb: waktu kamu hanya dua jam dari saat kau membaca surat ini untuk memutuskan dan harus segera berada di tempat yang ditentukan.

Lembar lain di surat itu adalah sebuah brosur hotel yang bertuliskan nomor 304. Ini mungkin petunjuk dimana ia bisa menemui orang itu.

Wajah Coki terlihat sangat pucat. Dan berkeringat. Melihat perubahan itu, Maya yang sebelumnya mencoba bersikap dingin malah kini menjadi khawatir dan bersimpati. Isi surat itu pastilah sesuatu yang sangat menakutkan. Beberapa saatnya Coki terdiam membatu dan ia seperti tidak berada dimana ia berada.

“Bang, ada apa? Abang baik-baik saja, kan?”

Coki mengangguk tapi kemudian menggeleng. Ia tak mampu berpikir jernih dalam situasi yang kini dihadapinya. Surat itu jelas berasal dari orang yang kemungkinan bertanggungjawab atas kematian istrinya setahun lalu. Dan jika orang itu mencoba mencuri perhatiannya dengan mengungkap hal itu maka tampaknya ia berhasil. Sebuah bayangan kelam tiba-tiba berkelebat di depannya, yang membuatnya sangat rapuh.

“Abang benar baik-baik saja?”

Coki tak mampu berkata apa-apa. Ia sepertinya memutuskan untuk menemui orang itu, yang entah dengan tujuan apa ingin bertemu dengannya. Coki benar-benar kehilangan akal sehatnya. Emosi yang menggebu menguasai dirinya. Tapi kemudian ia sadar bahwa pertemuan itu takkan terjadi jika ia tidak mengikutsertakan Maya. Ini merasakan pilihan yang sulit dan benar apa yang dikatakan orang itu di surat bahwa ‘kebenaranlah yang bisa membebaskan kita dari belenggu masa lalu dan itu bisa berarti harus mengorbankan masa depan yang kita miliki’. Istrinya adalah masa lalu, yang telah memberinya beribu makna dan mengubah jalan dan pandangan hidupnya justru di saat kematiannya, dan Maya adalah masa depan yang seharusnya memberinya makna yang lebih. Di manakah yang akan ia korbankan? Mengikutsertakan Maya jelas adalah sebuah resiko besar, karena bisa jadi ini hanya sebuah permainan yang dimainkan si penulis surat itu. Mungkin pula Maya akan dijadikan tameng yang bisa melindungi orang itu dalam situasi kritis tertentu. Si penulis surat mungkin telah tahu betapa Maya kini adalah bagian yang tak terpisahkan dari hidupnya dan bisa menjadi alat tawar menawar.

Coki harus segera memutuskan tindakan apa yang akan diambilnya, dan semua pilihan tindakannya mengandung resiko kehilangan yang sama baginya. Ia harus memilih dalam pertaruhan masa lalu dan masa depannya.

Maya terlihat mulai sangat khawatir dengan perubahan ekspresi Coki, “Boleh aku tahu isi surat itu?” desaknya.

Coki menggeleng dan menatap Maya kosong. Apakah ia harus melibatkan Maya dalam kisaran masa lalunya adalah pertanyaan yang sama absurdnya. Jika ia melakukannya mungkin ia akan mendapatkan sedikit kebenaran tentang apa yang memang ingin diketahuinya selama ini, namun apakah adil tindakannya dengan menyeret Maya ke dalamnya?

“Jika surat itu ada kaitannya dengan aku maka demi Tuhan aku harus tahu isinya, Bang!” Maya setengah menjerit membuat seorang pejalan kaki yang lewat sekilas melirik ke mereka.

“Mungkin sebaiknya kamu pulang saja, Maya. Mungkin memang sebuah kesalahan nasib yang mempertemukan kita. Petanda yang kuceritakan tempo hari hanyalah karanganku belaka demi menarik simpatimu. Aku terbuai dengan hasrat sesaat ketika itu dan bingung bagaimana meraih hatimu yang sekokoh karang. Kamu benar jika membenciku dan kuharap akan tetap begitu hingga kapan pun. Aku hanyalah seorang lelaki gagal yang mencoba bereksprimen dengan hidup yang dikiranya mampu dikendalikannya semudah menjetikkan jari. Kamu dan semua orang tahu, aku memang seharusnya telah terkubur dengan masa lalu. Aku tak pantas masa sekarang dan tak pantas lagi untuk masa-masa yang akan datang. Pulanglah. Ketika besok kamu terbangun berharaplah aku memang tak pernah benar-benar ada dalam kehidupanmu.”

Maya merasa begitu terpukul dengan sakrasme yang diucapkan Coki. Ia mencoba membenci lelaki itu tetapi apa yang diucapkannya bukanlah cacian ataupun umpatan baginya. Itu adalah bahasa keputusasaan. Itu bukanlah dirinya yang berkata. Penolakan itu hanyalah sebuah ungkapan ketakutan yang harus ia ketahui sumbernya. Tapi bagaimana ia bisa memaksa lelaki itu menceritakan segalanya yang terjadi?

Coki masih memegang surat itu dengan tatapan kosongnya. Ia tak memilih di antara dua pilihan yang diberikan hidup padanya. Ia bukan hanya menolak masa lalunya namun ia pun harus melepaskan masa depannya. Membiarkan Maya masuk dalam kehidupannya hanyalah sebuah resiko lain yang harus dihindarinya. Meski ia tidak akan membawa Maya ke tempat itu, namun ia pun tak mungkin mempertahankan keberadaan Maya dalam hidupnya. Jika ada resiko yang harus ditanggungnya maka ia berharap hanya dialah sendiri yang kelak menanggungnya.

Maya yang tak berdaya dalam kebingungannya akhirnya tak tahan menahan tangisnya. Ia beranjak meninggalkan tempat itu. Coki sendiri tak berusaha menahan dan hanya menatap kepergiannya dengan perasaan hancur. Tak ada lagi yang mampu dilakukannya. Ia benar-benar merasa sangat kosong. Ia beranjak masuk ke dalam rumah menuju kamarnya. Ia mematikan lampu dan menghempaskan tubuhnya di ranjang. Ia berharap ketika bangun nanti mimpi buruk ini pun akan segera berlalu.

Dua jam berlalu Coki terbangun ketika handponenya bergetar. Dengan malas ia melirik ke pesan yang tertera di layar. Maya. Dengan malas membaca pesannya: kamu merasa berat membawa wanita itu kemari bersamamu? Bagaimana kalau aku memberimu jalan keluar? Kamu tak usah membawanya kemari. Ia sudah di sini menantimu.

Coki terhentak bangun dari tidurnya. Orang itu benar-benar gila. Ia pasti telah menculik Maya. Ia berpikir untuk menelpon polisi, tapi kemudian mengurungkannya. Ia menarik kasar kasur tidurnya. Di sudut bagian dalam ranjang itu terlihat sebuah bungkusan yang terbungkus rapi. Coki mengambil bungkusan itu yang ternyata sebuah pistol. Coki memeriksa isinya dan masih terisi penuh. Pistol itu tak pernah benar-benar ingin ditembakkannya. Ia menyimpannya semata-mata untuk berjaga-jaga dalam situasi-situasi tertentu, seperti halnya sekarang. Awalnya ia berpikir mungkin ia akan menodongkan pistol itu ke seorang perampok yang masuk ke rumahnya, namun ternyata ia harus menggunakannya untuk hal lain yang jauh lebih menakutkannya.

Ia pun mengenakan pakaian terbagus yang dimilikinya, dan bergegas menuju hotel yang ditunjuk si penulis surat itu. Tak begitu jauh dari tempatnya yang hanya butuh waktu sepuluh menit dalam keadaan lalu lintas normal. Ia memang tidak lagi dalam posisi memilih akan pilihan hidupnya, hidup itu sendirilah yang telah memilihkannya untuknya.

Inspektur Alex yang telah merasa yakin dengan targetnya, mulai mempersiapkan diri untuk sebuah penangkapan. Ia telah menelpon ke pusat dan menceritakan semua yang diperolehnya kepada komandannya. Dan komandannya berjanji segera menyiapkan sebuah operasi penyergapan. Persoalan salah tangkap bukanlah hal yang sepele dan apalagi jika itu dilakukan terhadap orang yang berpengaruh. Satu-satunya harapannya adalah dengan menggunakan pijakan UU Anti-Teroris yang memungkinkannya melakukan penangkapan dan penahanan secara lebih longgar. Resikonya memang ia benar-benar harus melibatkan sepasukan Densus 88 yang efek beritanya akan sangat besar namun terkadang sangat efektif. Penggunaan isu teroris dalam penangkapan beresiko politik yang kurang karena masyarakat pun tengah dilanda phobia teroris yang justru karena ekspos media yang berlebihan.

Ia sudah tahu lokasi dimana orang itu berada. Dan sepanjang harinya pun ia harus berada di sekitar rumah itu, yang sepertinya sebuah rumah kontrakan murahan.

Inspektur Alex melihat sebuah insiden kecil terjadi di rumah kontrakan itu. Awalnya seorang wanita muda datang dengan motor matiknya. Lelaki si pemilik rumah tampaknya belum datang sehingga wanita itu harus menunggu beberapa lama. Lalu si lelaki itu datang beberap saat kemudian. Wanita itu memberinya sebuah surat, dan terlihat sebuah perubahan besar terjadi ketika lelaki itu selesai membaca surat itu. Terjadi sebuah pertengkaran kecil dan wanita itu lalu menangis dan segera berlalu dari tempat rumah itu, dan si lelaki tak berusaha menahannya. Lelaki itu masuk ke dalam rumah dan tak keluar untuk waktu yang agak lama.

Inspektur Alex mengamati semua itu dengan cermat, termasuk ketika setelah beberapa jam lelaki itu keluar dari rumah dengan tergesa-gesa, dengan pakaian yang sangat rapi, sehingga Inspektur Alex semakin melihat kecocokan antara lelaki itu dengan profil lelaki incarannya. Lelaki itu lalu menghentikan sebuah taksi dan melaju secara cepat meninggalkan tempat itu. Inspektur Alex juga menstop sebuah taksi yang kebetulan lewat di tempat itu. Pasti sesuatu telah terjadi, pikirnya, sehingga ia memutuskan mengikuti lelaki itu. Jalanan yang sedikit macet membuatnya hampir kehilangan lelaki itu. Untung sopir taksi itu gesit dan mengerti kebutuhan penumpangnya. Awalnya ia merasa keberatan melakukan pengejaran, namun setelah Inspektur Alex memperlihatkan lencananya sopir taksi itu tak dapat berbuat apa-apa.

Taksi lelaki itu melambat di depan sebuah hotel, dan itu adalah hotel yang ditempatinya. Inspektur Alex benar-benar bingung dengan apa yang akan dilakukan lelaki itu di hotel dimana ia menginap. Apakah ia telah menerima sebuah ancaman dan pelaku pengancam berada di hotel itu?

Inspektur Alex menyuruh sopir untuk memelankan laju taksinya. Taksi itu merengsek memasuki hotel mengikuti taksi di depannya itu yang sepertinya tak curiga sedikit pun sedang diuntit. Di depan lobi hotel taksi itu berhenti dan tanpa menunggu lebih lama lagi Inspektur Alex berjalan pelan menuju lobi, setelah melemparkan selembar uang seratusan ribu, yang diterima sopir taksi dengan wajah sumringah. Lelaki itu ternyata sudah dikenal baik di hotel itu. Manajer hotel bahkan yang langsung menjemputnya dan bersalaman secara ramah seakan mereka adalah mitra bisnis yang sudah lama saling kenal. Perlakuan khusus lainnya adalah tidak digunakannya alat pendeteksi logam pada orang itu sebagaimana pada tamu lainnya.

Inspektur Alex semakin yakin dengan dugaannya. Lelaki itu tidak menuju meja resepsionis, ia malah langsung menuju lift. Inspektur Alex tidak menyia-nyiakan kesempatan itu, ia berlari kecil menuju lift yang segera terbuka dan ia pun menerobos masuk ke dalam lift. Kini tinggal mereka berdua dalam jarak yang sangat dekat. Lelaki itu benar-benar tidak perduli dengan kehadiran orang lain di sekitarnya. Inspektur Alex tak perlu menekan tombol lift karena, tentu saja, tujuannya sama dengan tujuan lelaki itu. Lelaki itu lalu mengambil sebuah brosur hotel dari balik jasnya yang di salah satu bagiannya tertulis angka 304 yang ditulis besar berwarna merah. Inspektur melirik ke brosur itu dan segera tahu tujuan yang akan didatanginya. Di lantai tiga lift itu berhenti. Inspektur Alex menahan nafas dan memikirkan kemungkinan yang akan terjadi. Lelaki itu yang pertama kali keluar dan Inspektur Alex menyusul di belakang dan berusaha menjaga jarak. Di depan sebuah pintu kamar yang bertulis 304 lelaki itu mengetuk pintu, salah satu tangannya mengambil sesuatu di balik jas, yang dari jauh sangat jelas terlihat sebagai sebuah pistol. Inspektur Alex mengendap mengintip di kejauhan. Pintu kamar itu lalu terbuka dan lelaki itu masuk ke dalam kamar. Pintu itu lalu tertutup kembali. Inspektur Alex yang juga sudah memegang senjatanya mengendap mendekati kamar itu.

Inspektur Alex terus mengendap mendekati pintu kamar 304. Di depan kamar itu, ketika ia mencoba mendorongnya ternyata terbuka dengan sendirinya. Inspektur Alex yang dalam posisi siaga terhenyak dan belum sempat menghilangkan kekagetannya ketika terdengar suara berat dari dalam, “Masuklah Pak Inspektur, kami sudah lama menunggumu. Mungkin anda sedikit terlambat, tapi semuanya kuyakin memaklumi.”

Inspektur Alex benar-benar tak mampu memahami apa yang sedang terjadi. Lelaki itu jelas sudah mengetahui dan bahkan menunggu kehadirannya. Ia tak melepaskan genggaman pistol di tangannya yang siap meledakkan apa saja. Kekagetannya bertambah ketika mengetahui bahwa ada beberapa orang di ruangan itu, Surahman, sang pengusaha yang diincarnya, seorang wanita yang dilihatnya di rumah lelaki itu dan seorang wanita yang benar-benar membuatnya panik, istrinya sendiri. Ketiga orang itu duduk berjejer di lantai yang menatapnya dengan tatapan pasrah. Tangan mereka tidak terikat, sebagaimana biasanya sandera. Seorang lelaki di balik pintu duduk di sebuah kursi dengan pistol di tangan dengan gaya memerintah. Di tangan yang satunya lagi lelaki itu memegang sesuatu yang mirip remote control, yang ternyata diketahuinya adalah sebuah alat pemicu bom. Bom yang diletakkan begitu saja di depan ketiga orang sandera itu.

Lelaki itu, yang tersenyum lebar padanya, memerintahkannya untuk meletakkan pistol. “Duduklah bergabung dengan kami, tak usah sungkan-sungkan, Pak Inspektur.”

Inspektur Alex sepertinya tak punya pilihan lain selain menuruti permintaan lelaki itu. Lelaki yang menyapanya di ruang makan itu. Ia pun ikut duduk tepat di samping istrinya yang segera memeluknya ketakutan.

“Maafkan atas ketidaknyamanan ini. Anda cukup menuliskan komplain anda di kertas aduan di dalam laci kamar anda,” kelakar lelaki itu tetap tersenyum lebar.

Lelaki itu kemudian menarik rambutnya sendiri, yang ternyata sebuah wig. Melepaskan kumis dan janggut palsunya. Inspektur Alex pun mengenalinya sebagai lelaki yang ditemuinya di bandara, seperti yang diperkirakannya selama ini. Yang tak diperkirakannya bahwa kehadiran lelaki itu berkaitan dengan dirinya sendiri.

“Mungkin ada banyak hal yang kalian ingin tanyakan, bagaimana aku bisa melakukan selama ini?” tanya lelaki itu dengan bangga.

“Itu karena ini!” ia menunjuk ke kepalanya, masih dengan sikap bangga. “Tapi ini bukan sekedar pertunjukkan kejeniusan. Manusia yang terlalu bangga dengan dirinya hanya akan semakin terjerumus dalam kepongahan dan semakin tidak menyadari entitas lain dalam kehidupannya. Apakah anda tidak merasa tersinggung Pak Inspektur?

“Kepogahanlah yang membuat kalian berada di sini. Perasaan bahwa telah tahu dan memahami segalanya, padahal tak satu pun yang kalian pahami selain diri kalian. Bisakah aku bercerita bagaimana kalian bisa berada di sini, agar semuanya memahaminya dengan baik? Aku yakin tak satu pun diantara kalian yang berharap mati dalam ketidaktahuan dengan apa yang terjadi dengan diri kalian.”

Lelaki itu tampaknya sedang memainkan sebuah permainan dan sangat menikmatinya.

“Mungkin kita harus mulai satu persatu,” ujar lelaki itu duduk di kursi yang kini berada tepat di depan keempat orang itu. “Kita mulai dari Maya. Aku sudah tahu bagaimana semua ini akan berakhir. Aku tahu, karena cinta dan benar-benar ini karena cinta, Surahman atau Coki atau siapalah ia menyebut dirinya, tidak mengubris isi suratku, yang seharusnya akan segera berada kesini bersama wanita impiannya. Rasa cintalah yang mengalahkan rasa ingin tahunya akan cerita masa lalunya. Masa lalu yang membuatnya terdampar di tempat ini, memulai hidup baru sebagai orang lain. Aku bisa mengetahui kilatan cinta itu bahkan tanpa menanyakannya, karena tubuh tak pernah bohong. Ia selalu adalah bahasa universal. Aku tahu ia takkan memberitahu isi dan permintaan dari surat itu. Maya, gadis yang malang, yang dilanda keputusaasaan dan rasa ingin tahu yang besar kuyakin akan melakukan apa saja untuk mengetahui isi surat itu, maka aku menelponnya. Aku bilang akulah yang menulis surat itu dan jika ingin mengetahui apa yang kutulis dalam surat itu maka ia harus datang sendiri ke tempat ini. Betapa mudahnya perasaan mengalahkan akal sehat. Apakah kita semua setuju akan hal ini?

“Dan tentu saja, Tuan Surahman eh Coki, aku sudah tahu akan apa yang anda lakukan. Ini memudahkan pilihan anda. Dengan sekali memancing anda akan mendapatkan dua hasil pancingan. Anda mungkin akan mendapatkan wanita anda, dan jika sedikit beruntung akan mengetahui apa yang selama ini ingin anda kau ketahui, seperti janjiku di surat itu.”

Lelaki itu melihat ke Coki tanpa melepaskan senyumnya. Senyum yang sebenarnya tidak menakutkan andai dalam situasi yang berbeda.

“Inspektur Alex, apakah aku mengenal anda? Ya, tentu saja. Semua orang seperti aku pasti mengenal anda. Ironisnya justru andalah yang tidak mengenalku. Aku bahkan tahu semua yang anda sembunyikan dari orang lain, termasuk dari istri anda,” lelaki itu sekarang malah tertawa lebar.

“Bagaimana kau melakukan semua ini? Itu pasti yang sangat anda tanyakan. Mudah saja inspektur. Istri anda sebagaimana istri lain di dunia ini senantiasa khawatir jika suaminya berpergian ke luar kota. Apakah aku perlu menceritakan masa lalu kehidupan kalian berdua? Ya, istri anda yang merasa tahu dan memahami segalanya, tak bisa mengabaikan sebuah telpon dari seseorang bahwa suaminya kini sedang bersama seorang wanita idaman lain di sebuah hotel. Ia akan sangat percaya dengan pesan itu inspektur. Betapa mudahnya perasaan mengalahkan akal sehat. Apakah kita semua setuju dengan ini? Dan di sinilah istri anda sekarang inspektur. Justru dialah sekarang yang berada di kamar hotel ini bersama lelaki lain.”

Istri inspektur tampak tak mampu menahan isakan tangisnya dan desakan rasa bersalah karena kecerobohan dan rasa cemburunya yang tak tertahankan. Inspektur Alex memeluk istrinya mencoba menenangkan.

“Lalu ada yang mungkin bertanya, kenapa pak Inspektur kita ini berada di sini?

“Semuanya tentu karena Pak Surahman, Coki atau siapapun ia menyebut dirinya. Seorang pengusaha sukses yang menghilang setelah kematian istrinya tentu menimbulkan banyak pertanyaan, khususnya bagi seorang inspektur handal. Apakah anda sudah tahu penyebab kematian istri pengusaha kita ini, inspektur? Kenapa terlalu lama untuk mengetahuinya? Aku benar-benar berharap anda mengetahuinya lebih awal sehingga tidak melibatkan orang lain dalam situasi ini. Tapi apa memang hanya karena pengusaha inilah anda berada di tempat ini? Kenapa anda membuka kasus kematian wanita itu setelah sekian lama?”

Coki tampak terkejut dengan semua penjelasan lelaki itu. Betapa ia tahu segalanya. Betapa ia telah merencanakan semuanya dengan matang.

“Apakah anda pikir aku begitu bodoh untuk tidak memahami segalanya, Inspektur. Benar, akulah Malaikat Maut, orang yang sebenarnya kamu cari. Orang yang telah membunuh wanita itu dan banyak yang lainnya lagi. Akulah Malaikat Maut, tamu yang tak pernah kalian harapkan kedatangannya.”

Coki yang mengetahui lelaki itu sebagai pembunuh istrinya tak mampu menahan diri untuk melompat menyerang lelaki itu. Tetapi lelaki itu sepertinya sudah mengantisipasi segalanya. Dengan sebuah tendangan keras ia mampu menghentikan laju Coki seketika. Jelas ia sangat terlatih mengantispasi sebuah serangan mendadak.

“Tak usah terburu-buru tuan. Aku punya kabar baik untuk anda dan semoga ini bisa menuntaskan rasa ingin tahu anda selama ini. Anda pasti akan sangat berterima kasih padaku pada saatnya nanti.

“Pertanyaan utama dari semua ini adalah mengapa aku di sini? Itulah yang kuyakin ingin kalian tahu. Betapa nasib telah begitu bijaksana mempertemukan kita semua di tempat ini. Kataku, inilah saatnya kebenaran akan mewujudkan diri. Kebenaran yang mesti pahit namun seperti obat akan menyembuhkan kita semua.

“Semua ini di luar rencanaku jika kalian ingin tahu. Suatu hari seseorang menelponku untuk membunuh atasannya sendiri, yaitu anda Tuan Surahman.”

Coki terkesiap dan menerka-nerka siapa yang dimaksud lelaki itu sebagai seseorang yang ingin membunuhnya.

“Awalnya aku ingin menolak, karena ia terlalu berambisi untuk membunuh anda hingga rela membayar dengan bayaran yang sangat besar. Ini tentu saja mencurigakan. Tapi keraguan itu hilang ketika aku mengetahui bahwa andalah menjadi targetnya. Aku punya banyak utang penjelasan untuk anda dan sejak lama aku ingin menemui anda namun selama ini terlalu sibuk. Inilah kesempatan itu dan disinilah aku sekarang.

“Anda tahu mengapa aku sangat ingin bertemu dengan anda?” orang itu menatap tajam ke Coki, “Ini semua karena sesuatu yang istri anda ingin sampaikan melalui aku. Dia ingin anda tahu betapa dia mencintai anda selama ini dan cinta pulalah yang membuatnya tak ingin hidup lebih lama. Dan di sisi lain kematian akan mengekalkan segalanya. Apakah anda tidak merasakan cinta yang berlebih padanya setelah kematiannya? Kalau bukan karena cinta, lalu apa yang membawa anda dalam pengasingan anda di kota ini?

Coki menangis sejadi-jadinya. Untuk pertama kalinya sejak kematian istrinya ia menangis seperti itu. Maya yang duduk di sebelahnya mencoba menenangkan dengan membelai rambutnya.

“Ia mati dengan bahagia, jika itu yang ingin anda tahu dan ia berharap anda pun kelak akan mengalami kebahagian serupa di akhir kehidupan anda.”

Coki semakin terisak. Ia tidak lagi begitu membenci lelaki itu. Lelaki pembunuh istrinya. Mengapa ia harus membenci orang yang telah memberi kebahagiaan pada istrinya melebihi apa yang ia berikan selama ini.

“Apa kamu jujur bahwa ia bahagia di saat-saat akhir hidupnya?”

Malaikat Maut mengangguk sambil tersenyum bijak. Ia merasakan begitu banyak cinta di ruangan itu. Maya mulai mendekap Coki, seperti dekapan seorang ibu pada anaknya. Begitupun Inspektur Alex yang memeluk erat istrinya penuh kasih.

“Kenapa anda melakukan semua ini?” tanya Maya pada akhirnya. Matanya pun mulai sembab oleh rasa haru yang tak bisa ditahannya.

Lama Malaikat Maut hanya terdiam menatap mereka satu persatu, lalu katanya, “Mungkin karena aku berhutang banyak pada kehidupan. Jika kau telah mengambil begitu banyak kehidupan orang lain, maka kau akan tersadar betapa banyak utang yang harus kau tanggung. Beban yang akan terus mengganggumu hingga kau melunasinya. Ini hanya sebagian dari utang yang harus aku tuntaskan, karena dengan memberi kalian cinta sama halnya dengan memberi kalian setengah dari kehidupan.”

Ruangan itu menjadi senyap untuk beberapa saat. Semua orang sepertinya sedang meresapi apa yang dikatakan orang itu.

“Apakah anda tetap akan membunuhku?” tanya Coki akhirnya. Maya melirik padanya dengan pandangan putus asa. Inspektur itu pun tampaknya memiliki pandangan yang sama.

“Apakah anda akan membunuh kami semua?” tanya Inspektur Alex.

Malaikat Maut mengangguk pelan. Dan itu membuat semua orang di ruangan itu tampak panik. Namun katanya kemudian, “Mungkin bukan sekarang. Kalian terlalu sedih untuk meninggal saat ini. Masih banyak cinta yang menunggu di masa depan kalian. Suatu saat mungkin aku akan datang dari jendela kalian, atau dimana pun kalian berada. Apakah kalian pikir bisa menghindari kematian?” Coki kembali mengulang kisah pemuda yang mencoba mengindari kematian dengan mendatangai tempat tertinggi di dunia. Tempat dimana justru malaikat maut sudah menantinya.

“Aku punya pekerjaan yang lebih penting sekarang dibanding mengurusi kalian,” katanya sambil tersenyum. Ia kemudian melirik ke sebuah laptop yang berada di atas kasur. Di layar komputer itu terlihat sepasukan bersenjata lengkap tengah memasuki hotel, sebagian lagi telah berada di dalam lift dan beberapa saat kemudian pasti sudah akan berada di depan pintu kamar itu. Malaikat Maut tidak terlihat panik dengan situasi itu, keempat sandera itulah yang justru terlihat panik. Ia malah berdiri membelakangi para sandera itu, menghadap ke pintu, dengan sikap melindungi.

Pasukan Densus 88 pun mulai mendobrak pintu, yang tidak begitu sulit karena memang tidak terkunci rapat. Mereka langsung menerobos dengan melepaskan beberapa tembakan. Rentetan tembakan mengenai badan Malaikat Maut dari bagian dada hingga perut yang membuatnya tersungkur ke lantai. Darah pun mengalir membanjiri ruangan itu. Para sandera yang ketakutan dengan serbuan tiba-tiba itu hanya bisa menatap terbelalak setengah tak percaya dengan apa yang terjadi. Mereka segera diamankan keluar dari ruangan itu, kecuali Inspektur Alex yang memaksa untuk tetap berada di ruangan itu. Ia memperlihatkan lencana dan surat izin khususnya.

Inspektur Alex memperhatikan baik-baik-baik jasad yang kini terbaring kaku di depannya. Setelah mengetahui lokasi target di kamar 304, sebagaimana diketahuinya di brosur hotel itu di tangan si pengusaha di dalam lift, ia mengirim sebuah pesan tingkat ke komandannya. Ketika memasuki kamar 304 di hotel itu dan menyadari apa yang telah terjadi, salah satu tangannya memencat handpone di sakunya, yang menghubungkannya langsung ke komandannya. Sang komandan pun mendengarkan semua pembicaraan mereka dan segera menelpon polisi lokal untuk menjelaskan apa yang sedang terjadi. Polisi lokal pun merespon dengan mengirimkan pasukan Densus 88 karena target diperkirakan bersenjata dan sangat berbahaya.

Jasad sang Malaikat Maut pun dimasukkan ke kantong mayat dan ditandu keluar dari ruangan itu. Inspektur Alex yang teringat istrinya segera pamit keluar. Istrinya dan dua sandera lainnya kini berada di salah satu kamar hotel itu dibantu oleh beberapa tenaga medis. Istrinya langsung memeluknya dengan erat sambil menangis dan masih saja terus mengucapkan kata maaf.

Coki yang masih shock dengan apa yang terjadi mencoba untuk memahami semuanya dengan baik. Ia ingat bahwa keberadaan orang itu bertujuan untuk membunuhnya, tapi mengurungkannya. Lelaki itu memang tak menyebutkan orang yang bermaksud membunuhnya dengan mengirimkan pembunuh bayaran, tapi Coki sudah tahu siapa yang lelaki itu maksud. Satu-satunya di perusahaan yang bisa mengetahui keberadaannya hanyalah Maskito, orang yang justru sangat dipercayainya selama ini. Ia tak habis pikir kenapa Maskito tega melakukannya dengan semua kepercayaan yang diberikannya selama ini. Pada akhirnya toh ia akan meningggalkan semua itu dan Maskito lah satu-satunya orang yang dipercainya akan menggantikannya.

Coki mencoba melupakan kebencian itu untuk sementara waktu. Pada saatnya nanti ia harus memberi perhitungan pada orang itu. Yang paling penting sekarang adalah wanita yang kini di sampingnya.

“Kenapa kamu kemari, sayang. Kamu tak harus melakukan semua ini?” katanya lembut pada Maya.

“Kenapa kamu tidak menceritakan isi surat itu?” balas Maya merenggut, “Apakah kamu pikir aku tidak rela berkorban apa saja jika itu bisa mengeluarkanmu dari masalahmu?”

Coki yang kini malah kebingungan sendiri. Karena cinta, katanya dalam hati. Karena cintalah semua ini bermula. Jika kau mencintai seseorang maka kau akan melakukan apa saja untuk membahagiakannya dan menjauhkannya dari segala mara bahaya. Begitulah cinta membentuk kehidupan.

Inspektur Alex mendapat ucapan selamat dari komandannya. Bahkan Presiden dan Kapolri sendiri juga telah menyampaikan ucapan selamat atas kesuksesan operasi yang mereka lakukan. Jasad lelaki itu itu, sebagaimana permintaannya pada polisi lokal, segera diberangkatkan ke Jakarta. Esoknya, kedua agen FBI dari Amerika datang dengan pesawat khusus untuk mengidentifikasi jasad itu. Setelah memastikan bahwa memang orang itulah yang mereka cari, jasad untuk segera diberangkatkan ke Amerika untuk sebuah penelitian lebih lanjut.



EPILOG

Di sebuah hotel bintang lima Jakarta, pegawai hotel yang bermaksud membersihkan salah satu suite histeris melihat sesosok mayat terbaring di lantai berlumuran darah. Di jendela kamar itu terlihat sebuah lubang sebesar bola tennis, seperti habis dilalui sebuah peluru dengan kaliber besar. Isi kepala orang itu berhamburan di lantai, dan hampir tak bisa dikenali. Dari dompetnya polisi kemudian mengidentifkasi korban bernama Maskito dengan pekerjaan sebagai pengusaha.

Inspektur Alex yang mendengar kejadian itu segera ke lokasi kejadian. Ia memang bukan datang sebagai penyidik. Ia hanya ingin mengetahui bagaimana korban menemui ajalnya.

Melihat tingkat kerumitan kematian itu, bagaimana pembunuh dapat menembakkan senjatanya dari balik jendela yang berada di tingkat 20, dan tak ada bangunan tinggi lainnya di sekitar tempat itu, adalah pertanyaan yang sulit dicari jawabnya. Satu-satunya penjelasan yang memungkinkan adalah penembak menggunakan tali dari lantai atas dan berayunan, dan hanya bisa dilakukan oleh pasukan khusus.

Siapa yang mampu melakukan semua ini? bingung Inspektur Alex.

Telponnya lalu berdering. Telpon dari komandannya, “Ada kabar buruk dari AS,” ujar komandannya terdengar panik, “FBI baru saja menelpon bahwa jasad Malaikat Maut hilang beberapa saat setelah pesawat mendarat bberapa hari lalu.”

Inspektur Alex hanya bisa merinding membayangkan apa yang kemungkinan terjadi.

TAMAT

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline