Lihat ke Halaman Asli

Wahyu Chandra

Jurnalis dan blogger

Trust dan Anomie

Diperbarui: 26 Juni 2015   19:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ketika polisi melakukan penahanan Bibit Samad Riyantodan Chandra Hamzah beberapa waktu lalu, spontan saja menimbulkan riak yang sedemikian besarnya di masyarakat. Sasaran caci maki, tentu saja, adalah kepolisian dan kejaksaan, dua institusi hukum, yang memang banyak menjadi sorotan masyarakat selama ini. Caci makian pun berlanjut ketika kemudian sebuah rekaman membuktikan adanya upaya rekayasa dalam penahanan tersebut, yang, lagi-lagi, melibatkan aparat kepolisian dan kejaksaan, dan tak tanggung-tanggung adalah petinggi di kedua institusi hukum tersebut.

Baik kepolisian ataupun kejaksaan bisa saja bersikukuh dengan sikap mereka selama ini, dengan sejumlah bukti-bukti kuat, yang, katanya, mereka miliki dan membantah semua tudingan miring terhadap mereka, tapi masyarakat pun berhak memiliki preferensi tersendiri atas kasus tersebut. Sehebat apapun kedua institusi itu berkelit, sehebat itu pula perlawanan dari masyarakat. Apalagi kemudian kedua institusi tersebut, ditambah dukungan dari Komisi III DPR, menyatakan tidak akan bergeming meski dengan adanya tekanan publik yang sedemikian besarnya.

Hilangnya Trust

Disadari atau tidak kasus Bibit dan Chandra ini sebenarnya berimplikasi luas, lebih dari yang terlihat, bagi masyarakat. Khususnya yang berkaitan dengan tingkat kepercayaan masyarakat atas penegakan supremasi hukum di Indonesia. Dengan mencermati jutaan tulisan dinding publik di facebook, yang merefresentasikan masyarakat yang melek informasi di Indonesia, tercermin sebuah sikap pesimisme dan keprihatinan yang mendalam atas kondisi yang terjadi. Sederhananya, telah terjadi erosi kepercayaan, yang intensitasnya semakin membesar dan membesar, terhadap penegakan hukum di Indonesia. Hukum dianggap telah menjadi barang murah, yang bisa ditawar dan dibeli, oleh siapa pun yang bermodal. Akibatnya adalah hilangnya apa yang disebut sebagai trust (kepercayaan) sebagai bagian dari modal sosial (social capital) masyarakat.

Modal sosial (social capital), sebagaimana dijelaskan oleh James Coleman, adalah kemampuan masyarakat untuk bekerja bersama-sama demi mencapai tujuan-tujuan bersama di dalam berbagai kelompok dan organisasi. Dalam masyarakat yang bermodal sosial rendah, yang terjadi adalah munculnya saling tidak percaya di antara mereka, yang berdampak pada keengganan untuk bekerjasama dalam suatu upaya pencapaian kepentingan bersama atau dengan kata lain masyarakat akan semakin individualistik dan lebih mementingkan kepentingan diri sendiri, alih-alih memperdulikan orang lain. Berbagai tolak ukur yang biasa digunakan dalam melihat rendahnya modal sosial di masyarakat adalah dari tingkat kriminal yang tinggi, tingkat perceraian yang tinggi, intensitas konflik sosial yang tinggi, serta semakin kurangnya minat masyarakat untuk mengikatkan diri dalam komunitas-komunitas yang bersifat membangun.

Trust atau kepercayaan ini, sebagaimana diutarakan oleh Francis Fukuyama, memang merupakan unsur utama dari modal sosial masyarakat. Kepercayaan ini memiliki makna yang sangat luas dan akan berimplikasi pada kepatuhan masyarakat dalam menuruti norma-norma yang ada di tengah mereka. Hilangnya kepercayaan akan berakhir pada terjadinya sebuah perasaan sulit yang akut dalam ketiadaan norma-norma dan aturan-aturan yang bisa mengikat mereka dengan orang lain di masyarakat, yang oleh Emile Durkheim disebut sebagai anomie. Dalam masyarakat yang terjangkit anomie ini akan sangat mudah tersulut oleh provokasi dan dengan kecenderungan konflik yang tinggi, karena pada dasarnya tidak ada lagi rasa saling percaya di antara mereka. Kondisi ini, tentu saja, bisa juga terjadi karena masyarakat pun pada akhirnya tidak percaya lagi pada institusi hukum yang ada dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang mereka hadapi atau malah terjadi kebingungan kemana mereka bisa mengadukan keluhan-keluhan mereka, sementara saluran yang tersedia tidak memberi ruang yang semestinya dan penuh dengan kepalsuan. Masyarakat yang dilanda penyakit ini ujung-ujungnya merasakan ketiadaanharapan dan rasa frustasi yang menjalar secara meluas.

Solusi menyeluruh

Banyak solusi yang ditawarkan dalam penyelesaian kasus Bibit dan Chandra, baik melalui rekomendasi TPF bentukan Presiden, maupun dari pakar-pakar hukum. Hanya saja, berbagai solusi ini lebih bersifat jangka pendek dan hanya untuk meredam situasi agar tidak beranjak menjadi lebih parah dan tak terkendali. Ini tentu saja juga bertujuan untuk menghindari pemanfaatan situasi oleh orang-orang tertentu yang melihat peristiwa ini sebagai peluang untuk menciptakan situasi yang lebih tidak kondusif untuk tujuan politik mereka.

Solusi dari kalangan hukum, tentu saja akan lebih bersifat praktis dan parsial, dengan hanya mengedepankan pada aspek hukum semata. Padahal solusi yang lebih bersifat jangka panjang dan menyeluruh adalah hal yang jauh lebih penting dan mendesak untuk dilakukan. Dalam hal ini pemerintah berkewajiban untuk mengembalikan kembali rasa percaya masyarakat atas komitmen penegakan hukum, tidak hanya sekarang dan kasus per kasus, tapi untuk ke depan dan untuk seluruh aspek yang ada. Tuntutan akan perlunya sebuah reformasi hukum untuk seluruh institusi hukum mungkin sebuah tawaran solusi yang tepat. Hanya saja selama ini belum ada definisi khusus yang menjelaskan ke arah mana reformasi itu dan bagaimana bentuk reformasi itu sendiri. Pelaksanaan reformasi ini pun tidak akan menjamin selama pemerintah sendiri tidak memiliki komitmen yang kuat untuk menjalankannya.

Komitmen pemerintah untuk mewujudkan tatanan hukum yang berlaku memang haruslah di ke depankan, yang tidak hanya dipaksakan pada masyarakat luas, tapi juga bagi aparat penegak hukum sendiri. Mekanisme sanksi yang lebih berat terhadap aparat hukum yang dinilai bersalah, harus menjadi tradisi. Pemerintah setidaknya harus bisa menunjukkan pada masyarakat secara sungguh-sungguh bahwa tak ada yang kebal terhadap hukum. Marilah bercermin pada apa yang terjadi di Perancis, dimana mantan Presidennya yang dianggap sebagai salah satu pemimpin tersukses dalam sejarah kepemimpinan presiden di Perancis, ternyata tak kebal terhadap terhadap tuduhan kejahatan yang dilakukannya sebelum ia menjadi presiden bagi pengadilan di Perancis. Atau bercermin pada China yang menghukum mati sekian banyak pejabat pemerintahannya yang terbukti melakukan tindakan korupsi.

Penegakan hukum secara ketat, tidak hanya menimbulkan efek jera bagi para pelaku kejahatan (khususnya para koruptor), tapi juga diharapkan akan semakin meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum dan kinerja aparat hukum di Indonesia. Dengan melakukan hal ini, tentu saja, pemerintah akan menyembuhkan masyarakat dari sakit anomie yang dideritanya, sekaligus memberi harapan akan perikehidupan yang lebih baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline