Lihat ke Halaman Asli

Wahyu Chandra

Jurnalis dan blogger

Masalah Papua Sebenarnya Bukanlah Saparatisme

Diperbarui: 26 Juni 2015   18:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Masalah Papua kini mencuat lagi, di tengah kasak-kusuk pemberitaan media mengenai Kasus Bank Century dan konflik Sri Mulyani - Aburizal Bakrie. Densus 88 dengan gagah berani kembali mendapatkan korbannya. Kali ini terjangan peluru mereka bersarang di tubuh seorang Kelly Kwalik, yang dituding sebagai pimpinan kelompok saparatisme yang berbahaya dan kerap membuat onar. Pertanyaannya,  apakah memang saparatisme masih merupakan momok di Bumi Cenderawasih itu? Seberapa besar potensi ancaman mereka, dan apakah benar-benar semua aksi kekerasan di papua selama ini benar-benar adalah 'kerjaan' mereka. Banyak keluh kesah dari teman-teman di Papua melalui catatan-catatan mereka di facebook, ataupun diskusi di berbagai forum, yang beberapa di antaranya merupakan informasi yang jarang kita temui melalui media-media mainstream. Kita tentunya tidak bisa mengklaim informasi itu sebagai sebuah kebenaran mutlak, tapi tetap saja bisa menjadi rujukan dan informasi alternatif bagi kita. Sejumlah hal yang mereka ungkapkan antara lain. Pertama, keberadaan gerakan sparatisme di Papua boleh dikata antara ada dan tiada. Meski secara organisasi mereka memang masih eksis, namun jumlah dan militansi mereka sudah sangat berkurang. banyak yang menyangsikan aksi-aksi kekerasan yang terjadi di papua selama ini murni dilakukan oleh OPM ini, karena modusnya yg sangat di luar 'pakem' OPM yang ada selama ini. Kedua, sejak tahun 2002 dimana status Otsus atau otonomi khusus diberlakukan, Papua telah mendapat suntikan dana dari pusat sebesar Rp 28 triliun, baik dalam bentuk dana otsus, maupun DAU, DAK dan sebagainya, sementara tak ada hasil pembangunan yang nyata terlihat sebanding dengan besarnya dana tersebut. Kemana dana-dana itu? Apakah ia menyusut dalam prosesnya dari pusat ke daerah ataukah menyusut justru setelah sampai ke daerah. jika jumlah itu memang benar adanya, maka itu pastilah kasus korupsi yang sangat besar. Kita rata-ratakanlah 28 triliun dibagi 7 tahun yang berarti sekitar 4 triliun setiap tahunnya. Pada kenyataannya, berapa banyak sekolah, pelayanan kesehatan, jalanan dan fasilitas publik terbangun? Mengapa harga semen misalnya masih bisa mencapai Rp 1 juta/zak-nya jika pemerintah telah berupaya memenuhi setiap pelayanan publik yang ada? Ini semua adalah sumber kekecewaan yang terkadang menyulut militansi masyarakat Papua. Ketiga, pendekatan penyelesaian masalah yang dilakukan pemerintah selama ini, melalui TNI/Polisi, yang sangat refresif, anarkis dan mengabaikan pendekatan persuasif dan bersahabat pada masyarakat Papua. Dengan pendekatannya selama ini TNI/Polisi sebenarnya telah menciptakan teror baru bagi masyarakat. Ada sebuah paradigma yang terbangun bahwa para aktivis saparatisme ini adalah 'musuh negara' yang harus dibinasakan alih-alih melihat mereka sebagai sekelompok masyarakat yang kecewa dan butuh penjelasan tentang ketidakadilan yang mereka terima. Keempat, kalau pemerintah suskes dalam rekonsiliasi di Aceh, kenapa mereka tidak mampu melakukan hal yang sama di Papua? Ada banyak spekulasi yang berkembang di kalangan aktivis mengenai hal ini, di antaranya bahwa memang Papua akan selalu dikondisikan seperti itu karena terkait dengan masalah anggaran yang otomatis akan berhenti dikucurkan jika Papua sudah benar-benar aman. Ini hanya spekulasi yang tidak kita ketahui kebenarannya secara pasti, tapi toh desas-desus ini berpotensi semakin merusak citra TNI/Polisi. Kelima, ada pula anggapan tentang akar persoalan Papua sebenarnya adalah pada 'kecurangan' pemerintah Indonesia pada saat PEPERA dilakukan pada tahun 1969, yang tidak hanya penuh manipulasi, tapi juga intimidasi pada rakyat Papua agar lebih mendukung memihak ke RI. Terkait dengan hal ini, ada tawaran bagaiman jika dilakukan investigasi terhadap hal tersebut mengingat sejumlah tokoh-tokoh Papua yang terlibat dalam PEPERA tersebut masih hidup. Ini tentunya bukan pekerjaan yang mudah karena selain dari itikad baik dari pemerintah sendiri untuk mendukung upaya ini, karena pemerintah tentunya sudah tidak ingin kecolongan dengan lepasnya Papua dari NKRI seperti ketika kasus Timor-Timur, juga karena kompleksitas masalah ini dilihat dari suduu pandang internasional. Ini seperti membuka luka lama, yang tidak hanya memperhadapkan pemerintah Indonesia dengan rakyat papua, tapi juga dengan pemerintah Belanda. Lalu bagaimana kita seharusnya melihat rumitnya persoalan di Papua? Menurut saya memang harus ada perubahan paradigma atau mindset dari pemerintah kita dalam melihat masalah Papua agar tidak hanya melihatnya sebagai masalah saparatisme belaka, yang tercermin dari sikap dan pendekatan yang mereka lakukan. Selain itu ada banyak persoalan yang sebanarnya jauh lebih penting untuk segera dituntaskan, misalnya pemerataan pembangunan, dan keadilan atas akses pelayanan ekonomi, pendidikan, kesehatan dan pelayanan sosial lainnya. Pemerintah pun harus mengusut secara tuntas semua aliran dana pembangunan di Papua, mencari sumber kebocorannya dan memperketat pengawasan penggunaan anggaran. Jangan sampai selama ini pemerintah ‘merasa’ atau terlalu ‘ge-er’ banyak berbuat untuk Papua namun ternyata dalam kenyataannya sangat berbeda. Selain itu, faktor budaya juga tak kalah pentingnya. Selama ini selalu ada kesan mensubordinasikan masyarakat Papua tidak hanya kaitannya dengan pelayanan pemerintah tapi juga dari citra yang dibangun oleh media yang memperlakukan masyarakat Papua sebagai masyarakat kelas dua dan bahkan sering kali dijadikan bahan olok-olokan. Dengan kondisi ini maka integrasi budaya Papua ke kebudayaan nasional akan semakin sulit dilakukan karena mereka (rakyat Papua) pun akan selalu melihat diri mereka sebagai sebuah entitas yang berbeda atau melihat diri mereka sendiri sebagai 'the others' karena sikap kita pun yang terkadang melihatnya seperti itu. Harus ada sanksi bagi media ataupun siapapun yang mempertunjukan sikap rasis terhadap masyarakat Papua atau masyarakat di bagian Indonesia lainnya. Harus ada upaya menghilangkan anggapan bahwa Jakarta lah sebagai 'the riil Indonesian', atau masyrakat Jakarta ataupun Jawa sebagai kelas berstrata lebih tinggi dibanding masyarakat di Indonesia bagian lainnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline