Dalam era digital yang kaya informasi seperti saat ini, penyebaran hoaks dan informasi palsu semakin mudah dan cepat. Dalam era informasi yang dipenuhi dengan hoaks dan informasi palsu, kemampuan untuk menyaring fakta dari hoaks menjadi keterampilan yang sangat penting bagi individu.
Hoaks dapat dengan cepat menyebar melalui platform media sosial dan internet, dapat dengan mudah mempengaruhi persepsi dan keputusan orang-orang, bahkan dapat berdampak merugikan pada masyarakat dan politik. Hal ini menimbulkan tantangan serius bagi masyarakat dalam membedakan antara fakta dan hoaks.
Meningkatnya penyebaran hoaks di era digital mengakibatkan kesulitan dalam membedakan informasi yang valid dan yang palsu. Penyebaran hoaks di era digital telah menyebabkan kebingungan dan keraguan dalam membedakan antara informasi yang benar dan hoaks. Sebenarnya hal ini dapat diatasi dengan membaca kritis, namun kemampuan membaca dan tingkat literasi masyarakat Indonesia sangat rendah. Penyebaran hoaks yang cepat dapat disebabkan oleh lemahnya keterampilan membaca kritis masyarakat Indonesia, terutama pada peserta didik.
Permasalahan utama memang terletak pada kurangnya kemampuan masyarakat untuk membedakan informasi yang valid dan hoaks. Selain itu, rendahnya budaya membaca kritis memperburuk permasalahan ini. Masyarakat juga kurang perhatian terhadap literasi informasi yang akhirnya menjadi kendala dalam menangkal informasi hoaks. Masyarakat terbiasa untuk menerima atau menelan mentah-mentah informasi yang di dapat, yang seharusnya perlu untuk menelaah dan mencermati untuk memastikan apakah informasi yang diterima adalah informasi valid.
Data yang pernah dirilis UNESCO mengungkap minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001%, artinya dari setiap 1000 orang hanya satu yang rajin membaca. World's Most Literate Nations juga pernah merilis hasil survei tahun 2016 menunjukkan tingkat literasi Indonesia berada di rangking 60 dari 61 negara. Kesimpulannya, kemampuan membaca dan tingkat literasi masyarakat Indonesia sangat rendah. Data ini banyak membuat gusar stakeholder pendidikan dan penggiat literasi di Indonesia (data dari https://cctd.uksw.edu/index.php/lemahnya-keterampilan-membaca-kritis/). Serta data statistik UNESCO total 61 negara, Indonesia menempati urutan ke-60 dengan tingkat literasi rendah (data dari https://www.kompasiana.com/dina0312/639f063808a8b5595c1eb262/rendahnya-budaya-pada-siswa-diindonesia#:~:text=Saat%20ini%20minat%20baca%20masyarakat%20di%20Indonesia%20tergolong,dari%20siswa%2C%20mahasiswa%20ataupun%20dari%20masyarakat%20itu%20sendiri.).
Budaya membaca kritis menjadi kunci dalam mengatasi tantangan ini. Pendidikan membaca kritis dan kemampuan untuk membedakan informasi yang valid menjadi sangat penting dalam konteks ini. Upaya untuk meningkatkan budaya membaca kritis tidak hanya menjadi tanggung jawab pendidikan formal, tetapi juga melibatkan berbagai pihak, termasuk bimbingan dan konseling di sekolah. Namun demikian, kebutuhan akan bimbingan dan konseling dalam mengembangkan keterampilan ini masih sering terabaikan. Peran bimbingan dan konseling menjadi sangat penting dalam upaya meningkatkan budaya membaca kritis, sehingga masyarakat dapat menyaring fakta dari hoaks dengan lebih efektif. Dalam penelitian ini, kami akan mengeksplorasi peran yang dimainkan oleh bimbingan dan konseling dalam upaya meningkatkan budaya membaca kritis, dengan fokus pada bagaimana mereka membantu individu menyaring fakta dari hoaks.
Penelitian ini akan menggunakan metode studi literatur, Penelitian studi literatur adalah survei dan pembahasan literatur dalam bidang tertentu dari suatu arti penelitian yang telah menjelaskan gambaran singkat dari apa yang telah dipelajari, argumentasi, dan ditetapkan tentang topik penelitian tertentu, yang biasanya diorganisasikan secara kronologis atau tematis.
Peningkatan peran bimbingan dan konseling dalam pendidikan formal dan informal dapat menjadi solusi utama. Penyelenggaraan program-program pelatihan membaca kritis, peningkatan literasi informasi, dan integrasi materi tentang hoaks dalam kurikulum adalah langkah-langkah yang dapat diambil. Pelatihan bagi guru bimbingan dan konseling dalam strategi mengajar dan mendukung siswa dalam meningkatkan kemampuan membaca kritis.Kampanye sosialisasi kepada siswa dan orang tua tentang pentingnya membaca kritis dan cara menyaring fakta dari hoaks.
Guru BK dapat menggunakan pendekatan layanan yang ada dalam Bimbingan dan Konseling sebagai upaya peningkatan pengetahuan pentingnya membaca kritis. Menggunakan layanan dasar dengan strategi bimbingan klasikal mauapun bimbingan kelompok yang pembahsannya mengangakat materi atau isu-isu berkenaan dengan membaca kritis atau lebih perhatian terhadap informasi yang terdeteksi hoaks.
Selain solusi di atas, guru BK dapat berkoordinasi atau bekerja sama dengan manajemen sekolah untuk mengadakan suatu gerakan sebagai pendobrak pembiasaan budaya membaca kritis. Salah satu gerakan yang sudah di terapkan, yaitu GLS atau Gerakan Literasi Sekolah, gerakan ini dapat lebih dikembangkan dan dikenalkan ke peserta didik dengan penyebaran yang lebih merata.
Berikut ini juga beberapa solusi yang dapat di manfaatkan untuk meningkatkan budaya membaca kritis, yaitu; Pemberian pelatihan kepada guru BK tentang strategi mengajar membaca kritis kepada siswa; pengembangan program bimbingan dan konseling yang memasukkan pembelajaran membaca kritis dalam kurikulum sekolah; menggandeng media massa dan platform digital untuk menyebarkan informasi tentang pentingnya membaca kritis dan cara menyaring fakta dari hoaks; pengenalan konsep membaca kritis melalui program bimbingan dan konseling di sekolah; penyusunan materi dan kegiatan pembelajaran yang memperkuat keterampilan membaca kritis; sosialisasi kepada orang tua tentang pentingnya mendukung budaya membaca kritis di rumah