Lihat ke Halaman Asli

Kiprah BJ Habibie dalam Kemerdekaan Timor Leste

Diperbarui: 29 Juni 2024   18:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Tempat Lahir & Keluarga

Presiden ketiga Republik Indonesia, Prof. DR (HC). Ing. Dr. Sc. Mult. Bacharuddin Jusuf Habibie atau dikenal sebagai BJ Habibie. Merupakan pria kelahiran Pare-pare (Sulawesi Selatan) pada tanggal 25 Juni 1936, merupakan keturunan dari Makasar dan Pare-pare. B.J. Habibie menikah dengan Hasri Ainun Besari pada tanggal 12 Mei 1962 di Rangga Malela, Bandung,dari pernikahan keduanya, Habibie dan Ainun dikaruniai dua orang putra, yaitu Ilham Akbar Habibie dan Thareq Kemal Habibie.
Pendidikan

Dimasa kecil, BJ Habibie telah menunjukkan kecerdasan dan semangat tinggi pada ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya Fisika. Setelah lulus dari sekolah menengah atas (SMA),ia melanjutankan pendidikan ke perguruan tinggi. Institut Teknologi Bandung (ITB) yang menjadi perguruan tinggi pertama bagi BJ Habbie, walapun singkat sekitar 6 bulan ia berada di Institut Teknologi Bandung, BJ Habbie menjadi salah satu lulusan terbaik dari Institut Teknologi Bandung. 

Pada tahun 1955-1965, BJ Habbie melanjutkan studi diluar negeri lebih tepatnya di Jerman. BJ Habbie menempuh pendidikan di RWTH Aachen University, dibidang sepesialisasi kontruksi pesawat terbang. Tapi BJ Habbie sebelum kuliah di Jerman ia pernah menempuh pendidikan di Belanda, namun BJ Habbie tidak menyelasikannya hingga ia memutusan pidah ke Jerman. Selama 6 tahun menepuh pendidikan di Jerman menjadikan ia mendapat gelar S3.


Karir Politik
Setelah sekian lama berada di Jerman, BJ Habbie kembali ke Indonesia. Selepas BJ Habbie kembali ke Indonesia, ia tertarik pada bidang politik. BJ Habbie memulai karir politiknya ketika Presiden Suharto meminta BJ Habbie kembali ke Indonesia, pada tahun 1973. Kala itu BJ Habbie di tunjuk sebagai Menteri Negara Riset dan Teknologi Kabinet Pembangunan V pada tahun 1983-1988, dan menjabat sebagai mentri yang sama lagi pada 2 priode berikutnya, yaitu pada tahun1988-1993 dan tahun 1993-1998. 

Selepas menjadi menteri selama 3 periode, pada tahun 1997 BJ Habbie dipilih menjadi wakil presiden menggantikan Try Sutrisno yang dianggap visi misinya berbeda dengan Presiden Soeharto dalam merancang kabinetnya. Pada tahun 1997, BJ Habbie menjadi presiden menggantikan soeharto setelah lengser dari kepresidenan. BJ Habbie otomatis mengisi posisi presiden pada tahun 1998-1999 hingga terpilihnya Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai presiden.

Era Reformasi

Dukungan Habibie terhadap kebebasan pers, liberalisasi partai-partai politik, melanjutkan dan meningkatkan kerja sama dengan organisasi multilateral seperti CGI, IMF, World Bank, ADB, IDB, dan ILO, serta kebijakan desentralisasi dengan mengalihkan kekuasaan ke daerah- daerah menunjukkan komitmen Habibie dalam proses reformasi demi pembangunan Indonesia.
Pada tahun 1998 B.J Habibie melanjutkan pemerintahan Presiden Soeharto,pada saat itu posisi pemerintahan B.J Habibie sangat lemah karena banyak serangan-serangan manuver dari kubu nasionalis maupun tentara dalam tubuh Golkar, yang ingin menyingkirkannya melalui Sidang Istimewa MPR. 

Selain itu juga mendapat perlawanan dari oposisi di luar parlemen. B.J Habibie juga memperjuangkan sistem Demokrasi yang awal mulanya sistem Otoriter. Selain itu Mandat reformasi dan demokrasi juga disuarakan oleh oposisi di luar parlemen dan mahasiswa. B.J Habibie juga mengalami permasalahan juga di Timor-timor yang pada saat itu ingin mengudurkan diri dan pisah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.


Timor Leste pada Masa B.J Habibie
Timor Leste sebelum menjadi negara bernama Timor-timor ,pada saat itu Timor-timor masih dalam kekuasaan Kolonial Portugis. Pada 7 Desember 1975 Kota Dili jatuh ke tangan Indonesia. Pemerintah Indonesia mendua dalam menyikapi Timor-timor di dalam kekuasaan Portugis, dengan alasan situasi kawasan yang terancam, dimana perkembangan yang terjadi di wilayah ini akan berimbas pada keamanan teritorial Indonesia yang berbatasan secara langsung.

 Integrasi wilayah Timor Timor dengan provinsi ke-27 Indonesia melalui Deklarasi Balibo yang kemudian dikukuhkan dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1976 dan Ketetapan MPR Nomor 6 Tahun 1978 masih menyisakan permasalahan yang belum terselesaikan, baik secara internal. dan luar, yaitu pihak internasional. Secara umum undang-undang dan keputusan MPR di atas merupakan bagian dari sejarah Timor Timur sebagai bagian dari Indonesia. Integrasi ini mengawali permasalahan reaksioner yang tidak pernah berhenti selama 23 tahun kekuasaan Indonesia. 

Pemerintah Indonesia selalu konsisten menganggap isu integrasi sebagai masalah final, namun dari sudut pandang Portugal, PBB dan pihak-pihak yang menentang integrasi menganggap integrasi Indonesia tidak sah. Penentang integrasi berpendapat bahwa mereka tidak dapat menerima petisi yang dibuat tanpa referendum, apalagi jika integrasi dilakukan dengan bantuan angkatan bersenjata.

 Portugis, Fretil dan para pendukungnya terus mempromosikan posisi tersebut di komunitas internasional. Kebijakan pemerintah Indonesia di wilayah ini adalah melaksanakan pemerintahan militer-sipil di bawah tanggung jawab 4 gubernur yaitu Araujo, Goncalves, Carrascalao dan Soares. Dominannya peran militer di wilayah tersebut disebabkan oleh faktor sejarah politik, yaitu keberadaan Fretilin ketika wilayah tersebut menjadi bagian dari Indonesia. Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) atau sekarang lebih dikenal Tentara Nasional Indonesia Republik Indonesia merupakan satu-satunya lembaga nasional yang menghadapi perlawanan kelompok integrasi secara langsung. Salah satu dampak dari penerapan kebijakan militeristik di kawasan adalah peristiwa “Santa Cruz” pada bulan November 1991, sebuah konflik politik yang berakhir dengan kekerasan dan menjadi titik balik kedudukan negara Indonesia di Timor Timur. Insiden Dili dipandang sebagai demonstrasi politik besar yang mempertanyakan integritas pemerintahan Indonesia. 

Selain itu masyarakat Timor-timor menyuarakan kemerdekaan untuk menjadi negara baru. B.J Habibie sebagai penengah mengambil UUD 1945 alinea pertama sebagai pandangannya yaitu yang isinya adalah kemerdekaan sebagai hak segala bangsa dan Indonesia harus berperan aktif dalam mengupayakan ketertiban dunia dan mewujudkan perdamaian dunia yang abadi. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline