Menuju hari raya idul fitri dan budaya silaturahmi keluarga besar di hari lebaran menimbulkan beberapa keresahan dikalangan anak muda, salah satunya dengan kebiasaan basa-basi para orangtua dengan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat personal dan sensitif bagi sebagian generasi muda seperti "Kapan Nikah?", "Kapan punya anak?", "Kok kerjanya begitu-begitu saja", "Gaji kamu berapa?" dan pertanyaan personal lainnya. Di berbagai platform media sosial banyak anak muda yang mengeluhkan fenomena basa-basi ini, sebagian menganggap bahwa momen silaturahmi keluarga menjadi kurang asyik dan cenderung menyenggol mental healthnya karena pertanyaan yang bersifat personal tersebut.
Berangkat dari fenomena yang bergemuruh di sosial media mengenai keresahan sebagian generasi z yang sangat peduli terhadap mental health mengenai kebiasaan para orangtua atau keluarga besar ketika kumpul keluarga dan kebiasaannya berbasa-basi dengan pertanyaan-pertanyaan yang dianggap sensitif oleh sebagian generasi muda kala ini, Namun, sebenarnya ada berbagai cara dalam mengatasi fenomena tersebut tanpa menyakiti mereka yang lebih tua dari kita. Salah satu caranya yaitu dengan mengetahui dinamika psikologis pada fase-fase dewasa akhir dan lansia.
Dinamika psikologis yang dimaksud adalah tahapan-tahapan perkembangan manusia. Dari sini kita akan mulai memahami dan mewajarkan fenomena-fenomena tersebut terjadi. Maka penulis tertarik untuk membahas hal tersebut berdasarkan teori Psychosocial Development dari Erik Erikson.
Erik Erikson merupakan salah satu tokoh psikolog asal jerman yang terkenal dengan teori Psychosocial Development atau Teori Perkembangan Sosial. Teori ini merupakan pengembangan dari teori Psychosexual Teory dari Sigmund Freud (Mokalu & Boangmanalu, 2020). Teori psychosocial development berkaitan antara aspek psikologis individu dengan keperluan dan tuntutan sosial. Dalam teorinya Erikson membagi tahapan perkembangan psikososial menjadi delapan tahapan. Tahapan perkembangan menurut Erikson terjadi sepanjang hidup manusia dari bayi sampai lanjut usia.
Kembali pada basa-basi dan kongkow keluarga. Keluarga ataupun kerabat yang memasuki usia dewasa (40-65) atau Adulthood, menurut Erikson mereka berada pada fase Generalitivity vs Stagnation. pada fase ini individu menjadi dewasa sehingga tahap perkembangan utamanya menjadi produktif dalam bidang pekerjaannya serta tuntutan agar berhasil mendidik keluarga dan melatih generasi penerus. Dinamika pada tahap ini adalah generatifitas vs stagnasi sehingga kekuatan dasar yang penting untuk ditumbuhkan ialah "kepedulian".
Kegagalan pada masa ini menyebabkan stagnasi atau keterhambatan perkembangan (Erikson, 1989). Pada fase ini mereka memiliki semangat untuk membantu generasi muda dalam mengembangkan dan menjalani hidup agar lebih berguna. Sedangkan stagnasi adalah perasaan bahwa individu tidak berbuat apapun untuk membantu generasi muda. Apabila mereka dapat mengatasi konflik ini secara positif, mereka akan mengembangkan kemampuan untuk memperhatikan generasi muda (Nantais & Stack, 2017).
Sehingga berdasarkan tahapan ini para keluarga dengan usia Adulthood (40-65) selalu memberikan wejangan-wejangan kepada generasi yang lebih muda dengan diawali dengan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat personal. tujuannya agar mereka bisa ikut andil membangun generasi muda agar lebih baik dan berguna dalam kehidupannya. Pada fase ini individu ingin merasa bahwa hidupnya sudah memberikan dampak yang positif untuk generasi muda sehingga memberikan ceramah dan wejangan merupakan karakteristik pada tahap generatifitas vs stagnasi.
Kemudian pada tahap terakhir dari usia 65 tahun sampai akhir hayat, individu berada di fase Integrity vs Despair. Menurut Erikon (1989) Pribadi yang sudah memasuki usia lanjut mulai mengalami penurunan fungsi-fungsi kesehatan. Begitu juga pengalaman masa lalu baik keberhasilan atau kegagalan menjadi perhatiannya sehingga kebutuhannya adalah untuk dihargai. Konflik utama pada tahap ini ialah Integritas Ego vs Keputusasaan dengan kekuatan utama yang perlu dibentuk ialah pemunculan "hikmat atau kebijaksanaan". Fungsi pengalaman hidup terutama yang bersifat sosial, memberi makna tentang kehidupan.
Jadi, pada fase ini manusia akan sering merefleksikan hidupnya selama ini. Pada tahap ini terjadi pergulatan integritas ego vs keputusasaan. Oleh karenanya mereka lebih sering merefleksikan kehidupannya selama ini dan mengevaluasi apa yang telah mereka lakukan dalam hidupnya. Proses ini mereka berkonfrontasi dengan rasa putus asa puncak -- perasaan bahwa hidup bukan seperti yang diinginkan dahulu, namun sekarang waktu sudah habis, dan tidak ada lagi kesempatan untuk mencoba gaya hidup alternatif (Bertrand, 2019).
Para lansia akan mengalami pergulatan batin dengan pertanyaan-pertanyaan yang mendalam untuk dirinya seperti "Apa arti kebermaknaan dalam hidup?", "Apakah hidupku sudah berharga?" dan pergulatan batin penting lainnya. Sehingga hal tersebut cenderung menjadikan para lansia seperti seorang filsuf yang bergulat dengan dirinya sendiri dalam menumbuhkan kekuatan ego yang disebut kebijaksanaan. Dalam hal ini kebijaksanaan dapat diungkapkan dengan berbagai cara, namun selalu merefleksikan upaya yang penuh dengan pertimbangan dan pengharapan. Hal ini bertujuan untuk menemukan nilai dan makna hidup saat menghadapi kematian (Lane & Munday, 2020). Sehingga pada fase ini manusia lebih sering menceritakan kehidupan di masa lalunya atau bernostalgia dan membagikan pengalaman refleksi kehidupannya.
Kedua karakteristik dalam tahap usia ini seharusnya dapat membantu kita untuk memahami dinamika psikologis seperti apa yang sedang para orang tua hadapi sehingga tidak sedikit berceramah dan menggurui atau mengurusi urusan personal kita. Kuncinya ketika basa-basi dimulai dengan keluarga pada fase Adulthood dan lansia adalah dengan membalikan pertanyaan yang mereka lontarkan seperti "jadi, kapan nikah?" maka tinggal kita jawab "Calonnya belum ada ini, tante punya kandidat gak?"dan minta mereka menceritakan bagaimana mereka menemukan pasangannya, kehidupannya, dan nilai yang mereka pegang maka obrolan akan cair dan kita hanya perlu mendengarkan. Mendengarkan tidak selalu sama dengan setuju.