Lihat ke Halaman Asli

Well-Beingnya Anak Broken Home

Diperbarui: 25 Oktober 2022   20:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Keluarga. Bapak, Ibu, dan Anak. Sebuah tatanan sosial paling kecil dalam masyarakat. Tentunya banyak dari kita menyepakati bahwa yang pertama memberikan pelajaran dan edukasi terhadap anak adalah keluarga. Peran keluarga begitu sangat penting untuk perkembangan fisik maupun psikologis pada anak.

Namun, itu hanya gambaran bagi keluarga yang baik-baik saja. Beberapa keluarga tidak dapat memberikan perlindungan, kasih sayang, dan rasa nyaman secara maksimal terhadap anak. Pertengkaran rumah tangga yang justru berperangaruh buruk terhadap anak, keretakan dan akhirnya perpisahan orang tua. Inilah yang menyebabkan seorang anak mengalami broken home.

Kasus perceraian di Indonesia sendiri terus meningkat dari tahun ke tahun, melansir dari laman voi.id menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Berdasarkan data stasitik tahun 2015, angka percerain terdapat sekitar 350 ribu pasangan keluarga yang bercerai. Namun pada tahun 2021, perceraian di Indonesia meningkat menjadi sebanyak 580 ribu.  

"Sehingga ada 580 ribu (keluarga) broken home. Mungkin juga ada anak-anak dari keluarga yang akhirnya kurang mendapatkan perhatian karena orang tuanya harus berpisah," kata Hasto

Istilah Well-Being barangkali sudah tidak asing lagi dikalangan gen z. Ada banyak kegiatan seperti webinar, diskusi, dan pelatihan yang dimana terdapat kata "Well-Being" dalam kegiatan tersebut. Sebenarnya apa sih Well-Being itu ? menurut American Psychological Association atau disingkat (APA) mendefinisikan Well-Being sebagai keadaan yang memiliki rasa bahagia, kepuasan, tingkat stres yang rendah, sehat secara fisik dan mental serta menjaga kualitas hidup yang baik.

Anak yang mengalami broken home mungkin akan merasakan trauma yang berkepanjangan atas apa yang dilihat, dirasakan, dan dialami. Anak yang mengalami broken home cenderung kesulitan dalam beradaptasi, sulit mempercayai orang, dan tidak percaya diri. 

Hal ini dipengaruhi oleh kurang maksimalnya perhatian yang diberikan oleh orangtua, seperti yang saya tuliskan diawal ketidakmaksimalan peran keluarga terhadap anak akan mempengaruhi perkembangan psikologis anak.

Sebagai perasaan atas pencapaian, tiap individu mempunya tingakatannya masing-masing. Ada orang yang merasa bahagia ketika mendapatkan smartphone dengan versi terbaru, namun bukan berarti orang yang dapat membeli smartphone versi lama tidak bahagia. Dalam kondisinya mereka sama sama bahagia atas apa yang mereka capai.

Jadi sederhananya Well-Being merupakan keadaan seseorang ketika memiliki atau sedang dalam perasaan yang positif. Bahagia, kepuasan, sehat fisik dan mental termasuk didalamnya. Lalu bagaimana anak broken home bisa merasakan atau mencapai well-beingnya ?

Salah satu momen yang dapat menimbulkan Well-Being bagi anak broken home adalah foto keluarga. Salah satu kebiasaan masyarakat dalam sosial media di beberapa momen tertentu, idul fitri misalnya dengan memposting foto keluarga, mungkin ini adalah hal sepele.

Tapi bagi anak anak broken home apalagi ketika keluarganya berpisah saat masih kecil foto keluarga merupakan sesuatu yang dapat mendatangkan perasaan bahagia, puas, dan mungkin menurunkan stress karena bisa beraktivitas seperti biasanya di sosial media saat momen lebaran.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline