Suatu pagi menjelang siang di sebuah jalan kota atas Semarang, saya dan suami sedang melewati gang perkampungan di Jalan Ungaran. Tentu saja dengan berjalan pelan karena berada di jalan kampung yang nggak boleh ngebut.
Teng... teng... teng... suara piring yang dipukul sendok menggema tepat di depan kendaraan kami. Rupanya seorang penjual makanan dengan sebuah gerobak kecil di atas sepeda motor yang ia kendarai sedang berhenti.
Suami saya melirik ke arah samping. Ia meminta sebuah persetujuan, terlihat dari mimik wajahnya.
"Buk,"
"Apa?"
"Mau?"
"Iya, mau," jawab saya cepat. Wajahnya tiba-tiba berubah cerah seperti cuaca pada saat itu yang sedang tak berawan sama sekali di langit yang membiru. Lalu suami saya bertanya pada penjual tadi.
"Pak, mie kopyok?" tanyanya to the point. Penjual Mie Kopyok keliling memang khas dengan suara teng-teng.
"Betul, pak,"
Suami menunjuk sebuah lokasi di bawah pohon besar dan memintanya dengan memberi kode jari tangan berbentuk V.