Entah sudah berapa lama ia tak menginjakkan kaki di tempat ini. Sepuluh tahun? Lima belas tahun? Ia mencoba mengingatnya. Tak banyak yang berubah. Atau memang tak berubah karena tempat ini menunggunya?
Kesibukan membuat ia nyaris melupakan. Padahal jika dirunut, tempat ini ibarat sebuah cerita panjang tentang perjalanan hidupnya. Tetapi, itulah. Ia bahkan sengaja mengulur waktu, saat seseorang menelpon untuk sesekali menengok kemari. Alasannya, tak ada waktu.
Dulu, saat awal merangkak hidup, tempat ini adalah mula pertama, ia bisa menjadi seseorang. Setelah mampu tegak berdiri, ditinggalkan, menempati ruang baru dalam kehidupannya.
Ada kesedihan, haru biru, jungkir balik, bahkan cerita yang tak akan mampu diungkapkan hanya dalam satu atau dua hari.
Bagaimana ia dulu hanya mampu makan sehari sekali dengan mengambil besusul dari rawa-rawa sekitar tempat tinggalnya.
Ia pergi, menitipkan rumah kepada kakeknya, setelah sebelumnya dibangun sebuah surau di sebelah kanan rumah untuk menenangkan pikiran kala itu.
Ada keengganan atau hatinya yang rapuh untuk sekedar berkunjung. Cerita tentang tempat ini begitu membuat hatinya serasa berlompatan. Bila tidak kuat, akan membuatnya sedih berkepanjangan. Padahal, jika saja ia mau, tempat ini akan bisa menghibur hatinya disaat gundah, berkebalikan dengan suasana hatinya saat ini.
Tetapi suatu perjalanan hidup, tak selamanya akan mulus. Kadang terjal menganggu, sehingga jalan itu sedikit terhambat. Berhenti, bahkan stagnan. Kejadian yang membuatnya terpuruk, barulah saat ia mengingat sesuatu. Rumah lama. Tempat yang nyaris ia lupakan.
"Kapan terakhir kamu mengunjungi tempat ini?"
"Lima belas tahun yang lalu."