Lihat ke Halaman Asli

Wahyu Sapta

TERVERIFIKASI

Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Puisi | Rindu Ibu Serupa Kenangan

Diperbarui: 5 Januari 2020   23:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: Pixabay.com

Pagi yang basah sekelompok merpati terbang biasa mendekat, lalu berkerumun oleh lemparan jagung dari tangannya. Setumpuk koran selesai baca teronggok di meja depan mata. Seperti hari-hari lalu, kesunyian menemani di dalam rumahnya sendiri. Kosong, padahal dulu seramai cuitan anak burung dalam cengkeraman induknya.

Ia bergumam, "Detik ini berjatuhan serupa embun, menetes bening memasuki labirin ingatan, memunguti sisa-sisa kenangan masa lalu. Foto-foto di dinding, kamar-kamar, tempat tidur, meja, kursi, tak lepas dari pandangan mata. Masih sama, meski kini rupanya telah menjadi kenangan. Sekelibat gerakan bayangan masa lalu menghempas.

Ia ambil handphone, lalu bertanya pada seseorang, "Kapan terakhir kau dalam buaian ibumu, nak?" 

Suara serak menjawab dari sana, "Maaf ibu, tak ada sinyal. Nanti aku menelpon ibu kembali." 

Betapa kesunyian itu semakin menebalkan rindu. Dari seorang ibu yang pernah melahirkannya. Waktu kecil ditimang-timang, lalu ribuan kilometer jarak membentang, merentang. Ia memegang handphone takut lepas. Berharap, suara serak menelpon balik. Mengais bayangan kenangan, memerih luka dalam dada yang retak. 

"Belum saatnya, belum saatnya, belum saatnya bertemu." ujarnya sendu.

Semarang, 3 Januari 2020. 

Puisi ini saya tulis untuk acara EMPU, Pameran Kain dan Serat Pewarna Alam, diselenggarakan oleh Soeratman Foundation (Mbak Leya Cattleya). Pada tanggal 4 Januari 2020 dibacakan oleh Mbak Zubaidah Djohar.

Thanks ya Mbak Ibed, Mbak Leya. Aku padamu... 🤗




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline