Lihat ke Halaman Asli

Wahyu Sapta

TERVERIFIKASI

Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Cerpen | Dia yang Berselimut Embun Pagi

Diperbarui: 4 November 2019   05:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: Pixabay.com

Embun pagi yang basah. Hari siang masih belum tampak. Sebentar lagi akan terang benderang, seiring matahari menampakkan diri. Cuaca berkabut tipis, meski tak ada mendung lagi. Tadi malam hujan cukup deras, tampak ketika tanah masih basah dan lembab.

Aku berlari kecil seperti hari lalu untuk berolahraga. Saat tiba pada sebuah taman, aku berhenti sejenak untuk beristirahat. Tetes embun masih menyisakan di dedaunan sekitar taman. Segar sekali udara pagi ini. Sesekali kuhirup udara segar dengan sepenuh hati, memenuhi seluruh rongga dadaku. Lalu pulang, berlari kecil menuju rumah. Kembali melanjutkan aktivitas.

Tak terlewatkan, selalu ku tengok sudut taman sebelah kiri. Hem. Ia, masih ada di tempat. Dengan perut yang makin hari semakin besar, tertidur di bangku yang terbuat dari semen.

Kupandangi dengan seksama, apakah ia masih bernafas atau tidak. Bukan apa-apa, jika kecemasanku tentang dia terlalu ekstrim. Aku cemas padanya dan janin yang ada di dalam perutnya.

Dua potong roti dan sebotol air mineral aku tinggalkan di sebelah tempat ia berbaring. Sengaja. Kubawa khusus untuknya.

Nafasnya teratur. Dengan baju yang dipakai, entah sejak kapan. Tetapi yang kulihat, selalu baju itu yang melekat di badan. Tidurnya masih pulas, meski embun membalutnya dingin. Semalam, bukankah hujan deras? Aku tidak mengerti. Aku melihat badannya tak basah. Mungkin ia berteduh, entah di mana. Setiap pagi, ia tertidur di taman.

Aku tak bisa berbuat lain. Hanya memberinya roti dan sebotol air mineral. Atau sebungkus nasi yang kubeli dari warung di hari yang lain.

***

Menjelang siang, saat aku melewatinya kembali, ia sudah tak berada di taman. Juga roti dan air mineral. Aku harap, ia memakannya.

Aku tak tahu tentangnya. Begitu pula orang sekitarnya. Ketika siang mulai merambat, saat matahari panas menyengat ia berkelana. Mungkin mencari makanan untuk memenuhi hasrat perutnya. Kasihan. Tapi apa daya, aku tak mampu menolongnya.

Ia sering berbicara sendiri dan berlagak seolah-olah berbicara dengan seseorang dengan menggerak-gerakkan tangan. Entah apa yang ada dalam pikirannya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline