Ada yang langsung terbayang saat ia memandang rumah itu. Wajah ayahnya. Dengan segala kenangan yang ada. Kelembutannya, galaknya, yang kadang mengerikan, meski ia selalu baik hati. Ayahnya memang galak, tetapi, meskipun begitu, karena galak itulah ia menjadi seseorang yang lebih mengerti tentang kehidupan.
Pada waktu itu, ada selaksa rindu yang selalu menggedor-gedor pintu hatinya, agar ia selalu pulang. Cukup memandang rumah dari kejauhan.
"Tak kusangka, aku masih memiliki kesempatan memandangi rumah itu, meski sudah tak berpenghuni lagi. Aku selalu rindu pada kehangatan rumah. Yang riuh suara-suara celoteh masa lalu. Bahagia dengan segala problematikanya." rintihnya. Betapapun dulu ia adalah anak yang nakal dan selalu membuat susah ayah dan ibunya. Tetapi tetap saja ia merupakan anak yang patuh.
Ayahnya tak pernah lupa untuk menagih hasil ulangan semester, meski ia telah menyembunyikan sedemikian rupa agar tak ketahuan. Apalah artinya, jika ayahnya lebih jeli dari padanya. Ufff.. ia menarik nafas panjang. Senyum mengembang dari bibir saat kenangan itu mengelibat. Jarang sekali ia mendapat nilai bagus. Ya, bagaimana mendapat nilai bagus jika tak pernah belajar?
Ayahnya tak jemu untuk menasihati. Padahal yang ia tahu dulu, nasihat itu masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Nasihat hanyalah sebuah angin lalu. Siapa sangka, nasihat yang dulu angin lalu, berguna bagi dirinya di masa kini.
"Aku memberimu nama Aradhana Bayu. Sebuah nama yang memiliki makna. Agar dirimu membawa angin perdamaian di jagad alam raya ini. Karena nama adalah doa bagimu. Jangan membuat onar Dhana. Kalau hatimu berontak saat tertekan oleh temanmu, baiknya kau lampiaskan pada kegiatan beladiri. Selagi kau mampu, kau harus bisa menahan diri."
"Ayah, aku..."
"Sudahlah. Kau akan memetik hasilnya kelak."
Ia hanya bisa menahan rasa, tanpa bisa membantah. Ia adalah anak lelaki yang mengalah. Sebenarnya jika ia mau, maka ia akan melibas temannya yang suka mengejek dan meneriakinya anak yang bodoh. Ia selalu teringat nasihat ayahnya. Akhirnya ia hanya bisa jengkel pada dirinya sendiri. Ia mengambil sasak, dan memukulnya tanpa ampun hingga ia capek dan puas.
***
Hem. Sisa waktu yang berjalan cepat. Saat ia harus merelakan rumah kenangan menjadi milik pihak lain. Mau tidak mau.