Suatu saat kesunyian akan merengkuhmu. Tak kau inginkan, tetapi ia datang dengan hati pilu yang setengah tak mau. Ya, menunggu ia. Seperti memahami kesunyian yang tak bertepi. Tetapi kesunyian itu seketika lenyap, saat senyum simpul datang darinya.
"Hai, Enit. Boleh aku pinjam pulpenmu? Sebentar saja?"
Lalu permohonan itu diikuti oleh sebilah kerlingan mata yang mampu merobek keangkuhan kemarahanku. Mana pernah bisa marah jika begini? Langkah yang keliru saat aku menengok ke arahnya. Wajahnya yang seperti bayi, akan menyihirku menjadi seekor pungguk yang merindukan bulan.
"Duh, sedang marah padaku, ya? Maafkanlah kalau begitu. Aku kan tak sengaja untuk datang terlambat. Tadi macet di jalan. Sedang laju mobil tak bisa dipaksa. Kalau kamu cemberut seperti itu, nanti aku semakin menjadi cinta, gimana? Kamu mau bertanggung jawab?"
Seketika aku tertawa tergelak mendengarnya. Bisanya ia berkata seperti itu. Menyebalkan!
"Baiklah, kita mulai ya. Kamu sudah menyiapkan semua bahan untuk presentasi nanti, bukan? Aku menggantungkan semua padamu."
"Sudah, pak." jawabku.
***
Berurusan dengannya itu ibarat ngeri-ngeri sedap. Semakin di dekati, semakin ngeri. Tetapi aku merasakan sedap saat berdekatan. Heran ya? Sebenarnya simpel saja bila mau. Tetapi tak semudah dan sesimpel yang diduga. Harus ada rentetan panjang. Aku tak mau. Atau tak mampu?
"Enit, jangan suka melamun jika sedang bekerja. Nanti jauh jodoh, loh."
Eh, apa hubungannya melamun dengan jodoh? Ia memang selalu mencari gara-gara. Menjadikanku bad mood. Perkataan itu mirip doa. Bagaimana jika aku jauh jodoh beneran? Amit-amit deh. Jangan sampai. Aku bercita-cita menikah muda dan memiliki banyak anak. Hem. Aku tersenyum simpul.