Kehidupan itu mengalir, bagai aliran air sungai. Menderas dan mengikuti alirannya. Jika saatnya tiba, akan berakhir di suatu tempat yang bernama Muara. Muara akan membawanya ke lautan luas tak berbatas. Selesailah kehidupan. Kemudian sebuah kehidupan itu akan menemui kehidupan baru, di alam lain. Kehidupan yang lebih abadi.
Di dalam perjalanannya, kehidupan akan menemui berbagai kisah dan cerita. Kadang menemui aliran yang berbatu, berkelok-kelok atau aliran tenang. Saat melewati aliran bebatuan, akan berisik, ramai. Meski begitu, aliran sungai akan tetap berjalan. Tak peduli dengan keriuhan, ramai atau berisik. Kehidupan akan tetap berjalan. Begitupun saat menemui aliran yang berkelok.
Aliran sungai akan tetap berjalan dan berjalan, meski harus berliku dan berkelok jalannya. Lalu saat aliran tenang dan menghanyutkan. Aliran akan tetap berjalan, meski tenang airnya. Zona nyaman ketenangan bahkan kadang-kadang melenakan. Jika tak hati-hati akan membuat kesalahan. Baik itu yang disengaja ataupun yang tidak. Begitulah kehidupan.
Ya. Kehidupan kadang juga menemui berbagai masalah. Jika kehidupan tak memiliki masalah, itu artinya kehidupan telah berakhir. Sudah tak berdenyut dan tak ada tanda-tanda kehidupan.
Suka duka adalah hal biasa dalam kehidupan. Saat suka datang, maka senyum di bibir akan mengembang. Saat duka yang datang, maka senyum akan sedikit bersembunyi, walau kadang senyum muncul meski dengan kepahitan.
Gembira dan kesedihan adalah perlambang bahwa kehidupan itu menyala, berbinar, berdenyut dan ada. Kesempurnaan ada, saat gembira dan kesedihan berpadu dalam kehidupan itu.
Seperti saat kesedihan mampir. Harus diterima. Tidak bisa dihindari. Bahkan kalau bisa menikmati kesedihan itu. Maka kesedihan akan menjadi teman yang baik bagi kehidupan dan memberi hikmah.
Tahun 2014. Saat mendekati lebaran, tiba-tiba ayah dari suami (eyang) sakit dan harus dibawa ke rumah sakit. Kecemasan terjadi. Padahal segudang rencana sudah dipersiapkan untuk menyambut lebaran. Saat itu berencana berlebaran di Jakarta dengan keluarga besar. Tiket sudah di tangan. Tinggal jalan saja. Segala persiapan juga sudah fix. Pokoknya rencana sudah matang. Akhirnya rencana gagal.
Betul juga, jika ada yang mengatakan, "Kita berencana, Tuhanlah yang menentukan. Manusia hanya bisa mengikuti alirannya." Karena situasi yang mendesak dan di luar rencana. Maka sambil menunggui eyang tercinta di rumah sakit, tiket dicancel. Untung bisa dicancel dan uang bisa kembali, meski tidak utuh. Segala persiapan juga cancel, seperti penginapan dan rentetan acara.
Tetapi situasi itu, justru membawa suatu keberkahan. Kami semua bisa merasakan berpuasa di lingkungan rumah sakit. Ada kenangan yang tak terlupakan saat berbuka dan sahur. Bergantian dengan saudara-saudara lainnya. Sambil menunggui eyang dalam perawatan. Suasananya tentu saja berbeda dengan saat berbuka dan sahur di rumah. Lebih prihatin dan seadanya, karena menu makanan seadanya. Nasi bungkus dan teh manis dalam plastik. Saat sahur, makanan dipersiapkan malam hari karena takutnya saat sahur tidak ada yang menjual makanan buat sahur.
Nah, karena sakit eyang membutuhkan perawatan yang cukup lama, hingga akhirnya saat lebaran tiba, beliau masih harus menginap di rumah sakit. Belum boleh pulang. Maka jadilah kami sekeluarga besar berlebaran di rumah sakit.