Pagi-pagi saya sudah menyambangi rumah bu Takwadi. Memenuhi janji mau berkunjung ke sana. "Segera ke rumah, ya bu. Saya butuh tahu berapa jumlah pesanan kuenya." katanya lewat WA. Padahal sudah saya tulis berapa jumlah pesanan saya di WA. Tetapi beliau tetap meminta saya datang, agar lebih jelas.
Ya. Bu Takwadi (66 tahun) adalah tetangga dekat rumah saya. Hanya terpaut satu gang. Bu Takwadi menerima pesanan kue kering hanya pada saat menjelang lebaran saja. Seperti tahun-tahun sebelumnya, saya selalu memesan kue. Sudah langganan. Sejak beberapa tahun lalu. Sudah hapal apa saja jenis kue yang akan dipesan.
Di usianya yang tak lagi muda, masih bersemangat menjalankan bisnis kue kering. Meskipun hanya pada saat menjelang lebaran saja. Pada hari lainnya, ia sibuk mengurusi rumahnya yang sekarang di koskan. Lumayanlah, daripada rumah kosong. Juga ada temannya. Anak kos yang tinggal di sana empat orang, kuliah di UIN Walisongo Semarang.
Biasanya, ia memulai pembuatan kue pada saat awal puasa Ramadan. Kemudian ia mulai aktif menghubungi pelanggannya, untuk memesan kue. Kebanyakan adalah para tetangga. Sejalan dengan waktu, pelanggannya semakin bertambah, tak sebatas hanya para tetangga. Karena kue bikinannya enak dan murah.
Setelah sahur, ia mulai memanggang kue-kuenya. Persiapan itu telah ia lakukan pada sore hari. Peralatan memasak, menimbang bahan kue kemudian di tata sedemikian rupa. Pada saat selepas sahur tinggal membuat adonan, dan memanggangnya. Lalu ketika telah dingin, dimasukkan dalam wadah kemasan kue.
Aroma kue yang baru matang, harum menusuk hidung ketika saya tiba di sana. Saya melihat beberapa kue baru matang masih ada dalam loyang, belum dimasukkan ke wadah kemasan. Beberapa lagi, masih ada di panggangan oven atas kompor. Baunya harum. Hum... mungkin kalau saya sedang tak puasa, pasti mencomotnya. Hehehe...
"Catat saja pesanan kuenya, bu. Sekalian dihitung berapa jumlah seluruh harganya." katanya. Loh, kok? Saya mengernyitkan dahi. Sejenak kemudian saya memaklumi, karena ternyata ia sendirian. Tidak ada yang membantu. Mbak Pipi, putrinya yang biasa membantu, sekarang ada di Surabaya mengikuti suami. O, baiklah. Saya mulai mencatat jumlah pesanan kue.
Seperti tahun lalu, saya memesan untuk orang tua dan saya sendiri. "Tulis saja di situ, dan tulis juga bonus satu," kata Bu Takwadi. Buat saya? Wah, baik hati banget. Alasannya, karena saya sudah langganan lama dan tidak pernah bosan. Memang saya sudah cocok dengan kue bikinan bu Takwadi. Rasanya enak dan tetap tak berubah dari dulu. Apalagi kastengelnya yang bikin jatuh hati. Bikin dag dig dug. Jika lebaran pasti habis duluan.
Bu Takwadi memulai bisnis kue lebaran sejak belasan tahun lalu. Pada saat pesanan banyak bisa menghabiskan 75 kilogram tepung terigu, 60 kilogram mentega. Belum lagi bahan lainnya seperti telur, selai nanas, kacang tanah, coklat dan keju. Semua bahan ia dapatkan dari layanan pesan antar, dari toko langganannya. Jika ia belanja sendiri, akan repot. Karena semua ia kerjakan sendiri. Jadi kalau belanja bahan lewat layanan pesan antar tidak akan merepotkan juga menghemat waktu. Tinggal menelpon dan di antar sampai rumah.
Ia sekarang memang tinggal sendirian. Dua anaknya sudah mandiri dan memiliki rumah sendiri. Sedangkan suami tercinta sudah mendahului beberapa tahun yang lalu. "Dulu saat masih ada pak Takwadi, malah sering ribut saat bikin kue. Memang ada yang membantu, tetapi bapak sering ketiduran saat memanggang kue. Jadi gosong. Tidak cantik kuenya." katanya sambil menerawang. Kemudian tersenyum. "Kenangan manis ya, bu" sahut saya. Bu Takwadi mengangguk.
Sambil menaruh kue yang sudah dingin ke dalam wadah, Bu Takwadi meneruskan ceritanya.