Ketika kulihat kau tampak semakin tua, dengan syal di leher dan batuk kecil. Kau semakin indah di mataku. Guratan-guratan tipis di sekitar mata, membuatmu anggun, bahkan mampu memancarkan sinar keibuan yang kental.
Kau seorang wanita yang tangguh, begitu tabah menemaniku dalam keadaan apapun. Dalam ukuran wanita normal, kau mampu melewati segala permasalahan yang membelenggu selama ini. Kau tak pernah mengeluh, bahkan sedikit menggerutupun tidak. Aku tak pernah mendengarnya.
Kau menerima dengan ikhlas kehidupan kita. Menjalani hidup di desa. Dengan berbekal keahlianku mencari batu, tak banyak yang bisa aku berikan padamu. Kadang ketika musim panen tiba, maka banyak mereka membangun rumah membutuhkan batu, mereka memesan padaku, itupun tak seberapa.
Dan ketika musim paceklik, batu banyak menumpuk di pekarangan rumah menunggu pembeli datang. Kau tak pernah mengeluh, selalu saja kau bisa mengatur segala kebutuhan hidup dengan baik.
Bahkan ketika banyak kekurangan dalam bidang finansial kau dengan cekatan menutupnya dengan penghasilanmu sebagai pengarang. Honormu sebagai pengarang itu pulalah yang mampu menyekolahkan anak kita hingga ke perguruan tinggi dan sekarang bekerja sebagai pegawai bank.
Kau tak pernah menuntut apapun dariku, kau hanya butuh cintaku, cinta yang tulus dari seorang lelaki pencari batu seperti diriku.
Beberapa puluh tahun yang lalu, ketika kunyatakan cintaku padamu, aku seorang lelaki muda yang gagah, anak seorang kaya di kampung kita. Ya, orangtuaku memang terpandang di kampung. Tapi aku tak pernah merasa kaya, aku hanya seorang lelaki yang kebetulan hidup di lingkungan orang kaya. Dengan keras kepala, ketika aku tak mau menerima bantuan dari siapapun termasuk orang tuaku untuk membantu keuangan, kau bahkan mendukungku. Uang bukan segalanya, katamu saat itu. Dengan cinta kita kita bisa hidup. Dan kau buktikan hingga sekarang.
***
Beberapa hari ini, batukmu kian menjadi, kau bahkan sampai sesak nafas. Aku tahu, kau sangat menderita, tapi tak pernah kau tampakkan. Kau tetap tersenyum. Ketika menyambutku pulang dari mengambil batu. Senyuman tulusmu, membuatku tetap semangat dan tetap hidup dengan segala keterbatasanku. Apapun yang aku peroleh hari itu kau terima dengan hati ikhlas, tak pernah memprotes.
Bahkan kadang aku yang protes, kenapa kau tak pernah protes terhadap diriku. Kau menjawab, "Sayang, dalam hidup, kadang-kadang keputusan yang terbaik adalah menerima keadaan, apapun keadaan itu."
Dan bila kau yang mengatakan itu, aku seperti berada di gunung es yang sejuk dan dingin, nyaman sekali. Aku benar-benar merasa beruntung memiliki dirimu. Kau bukan saja sebagai penasehat hidupku, tapi kau juga sekaligus penyejuk jiwaku. Aku tak bisa membayangkan bagaimana jadinya bila aku hidup tanpa dirimu.