Lihat ke Halaman Asli

Wahyu Sapta

TERVERIFIKASI

Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Aku, Pemilik Hati yang Beku #7

Diperbarui: 28 September 2017   15:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: pixabay.com

Sebelumnya:

Aku berencana mengunjungi ayah, berjanji untuk menata ulang rumah yang telah lama aku tinggalkan. Karena rencana itu, aku menolak ajakan Sakti untuk membeli buku. Bagiku, perhatian buat ayah saat ini lebih penting dari sekedar membeli buku dengan Sakti. Toh, ia bisa mengerjakannnya sendiri tanpaku. Tetapi ternyata Sakti membuntutiku hingga ke rumah ayah. Dan ia memergokiku. Lalu aku harus bagaimana?

***

Ini seperti mengerjakan exam. Aku harus menyelesaikannya tanpa salah. Tetapi kehidupan tidaklah sempurna dan manusia tempatnya salah. Jika aku tak sempurna, bukankah ini sesuatu yang tak bisa disalahkan?

Aku mengerti, Sakti sangat marah padaku. Tetapi sesuatunya telah terjadi. Aku hanya bisa meminta maaf padanya dan memberi pengertian, mengapa aku melakukan ini. Tidak mudah bagiku mengungkapkan kepahitan hidup yang ingin aku lupakan. Kejadian masa lalu yang membuat hatiku beku, tentu saja membuatku sedikit trauma. Tentang tante Devi yang seperti devil, tentang penyekapan, tentang pelarianku. Ah, semuanya membuatku sedih jika aku mengingatnya kembali. Aku berusaha melupakan dan membuang jauh.

Tetapi ternyata dalam kehidupan, masa lalu akan terus mengikuti dan tak pernah bisa terlupakan. Kita hanya butuh merelakan agar ia mengikuti tanpa menganggu. Hal itulah yang masih aku pelajari. Tak mudah memang. Aku patut bersyukur karena sekarang dikelilingi orang yang sangat sayang padaku. Meski mau tak mau, aku juga harus merelakan mereka untuk mengetahui masa laluku. Seperti Sakti. Kekasihku. 

"Sakti, andai kamu tahu, betapa beban berat yang aku rasakan pada masa lalu, kau pasti akan mengerti," kataku dalam hati. Tak bisa disalahkan. Sakti memang dalam kenyataan hidup, tak pernah mengalami cobaan hidup yang berat sepertiku. Ia memiliki orang tua yang sempurna sebagai kategori sebuah keluarga umumnya. Ia mendapat kasih sayang yang utuh dari ayah ibunya. Ia juga tak pernah merasakan pahitnya kehidupan. Hidupnya terlalu lurus. 

Uuufff...

***

Beberapa hari Sakti tak menghubungi. Baik lewat telpon maupun hanya sekedar mengunjungiku. Aku memaklumi. Tetapi ini merupakan hal yang berat bagiku. Kerinduan akan sosok Sakti tak bisa kupungkiri. Aku mencintainya. Meskipun kadang ia manja padaku. Sifat kekanak-kanakannya masih sering muncul. Tetapi sekarang Sakti lebih dewasa dari terdahulu. Itulah yang membuatku tetap mempertahankannya sebagai kekasih. 

Aku sudah berusaha menebus kesalahanku dengan menghubunginya terlebih dahulu. Beberapa kali aku menelponnya. Tak diangkat. WA juga belum dibalasnya, padahal aku tahu, ia telah membacanya. Baiklah, tak mengapa, mungkin ia masih marah. Ini salahku. Aku harus bisa menerima, jika ia marah, bukan?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline