Lihat ke Halaman Asli

Wahyu Sapta

TERVERIFIKASI

Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

January 14th, Cinta Sejati tak Pernah Pergi

Diperbarui: 15 Januari 2016   04:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

meniti bumi, sepenuh hati, sepenuh jiwa, sepenuh raga, 
meniti langit, jiwaku terangkat, terlontar ke awan-awan, 
menari-nari berputar tak searah, 
melesat, 
kencang, 
menuju satu cahaya, 
terang benderang, 
lalu lenyap.. 
tiba-tiba aku merasa hampa, 
sendiri, 
no one inside, 
benar-benar sendiri, 
duduk termangu dicahaya terang benderang.. 
(aku bertanya, apakah ini?)

Aku tampak melawati awan, terbang jauh. Tak menyangka, aku bisa bergerak secepat ini. Keinginanku menjelajah dunia terpenuhi! Tubuhku tiba-tiba menjadi ringan dan mampu terbang. Meskipun aku merasa, ini adalah sebuah mimpi. Ya, ini hanyalah sebuah mimpi, aku yakin itu! Aku mencubit kulit lengatku sendiri. “Auuw..” ternyata sakit. Apakah ini bukan mimpi? Apakah ini nyata? Entahlah. Karena aku bisa melihat diriku sendiri, sedang berbaring di sebuah ruangan ini.

***

Heem... waktu itu..

Aku, seorang gadis lembut dengan pipi setengah tembem. Rambut sebatas bahu dan tak pernah lebih dari sebahu. Berseragam abu-abu. Memakai motor, parkir di pelataran SMA. Setiap akan memasuki kelas yang berjarak seratus meter dari tempat parkir, aku selalu deg-degan karena harus melewati sebuah koridor yang berjajar kelas-kelas. “Itu kelas kamu..” batinku. Kelas IPA1. “Kamu pasti sudah menungguku di sana, di jendela yang besar, terbuat dari kayu kokoh dan berkaca.” Bangunan peningggalan jaman dulu memang begitu. Berjendela besar dan terlihat kokoh.

“Benar! Kamu telah menungguku.” seruku dalam hati.

“Lintang, nanti siang kita pulang bareng ya, sekalian aku mau pinjem catatanmu. Boleh?” katamu. Berbinar mata itu, melelehkan hatiku.

Aku mengangguk. Lalu segera beringsut setengah berlari menuju kelas sambil malu-malu. Pipiku kemerahan. Tentu saja, merah itu karenamu. Jenar, itu namamu.  Entah berapa kali kau menungguku di depan jendela. Puluhan mungkin, hingga suatu hari, kau bilang suka padaku. Begitupun aku, yang juga suka padamu. Aku mengangguk mau, untuk menjadi kekasihmu. Semudah itu? Tentu saja, karena kamu keren dan idola. Sedang aku, gadis cupu dan pemalu.

Tiba-tiba namaku tenar, karena telah menjadi kekasihmu. Hampir setiap berjalan denganmu, teman-teman melirikku. Sebenarnya aku agak jengah, tapi lama-lama terbiasa. Bahkan, ketika pipi tembemku berubah menjadi tirus, berkat diet ketat untuk menjaga penampilanku agar match denganmu. Lengkaplah sukamu padaku.

Kemudian...

Awalnya, memang dirimu banyak alasan agar tak selalu menemuiku dan menemaniku. Tapi akhirnya aku mengerti, bahwa dirimu memang menghindar dariku. Kita putus, dengan meninggalkan segala luka yang tertoreh merah. Aku patah hati, oleh cinta pertamaku. Sekaligus pelajaran pertamaku tentang patah hati. Oleh Jenar, cowok tenar di sekolahku.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline