Sumber Gambar: www.merdeka.com
Malam ini malam ke lima belas, bulan bundar sempurna. Dari ufuk timur sore menjelang malam tadi, bulan serupa telor dadar yang membulat sempurna, matang di penggorengan. Jalanan antara gang Mawar dan gang Melati, Fahrul duduk di sebuah balok yang menyerupai kursi yang terbuat dari semen. Sendiri, hanya sendiri. Sedangkan waktu hampir tengah malam menuju tanggal enam belas di Ramadhan yang suci.
Entahlah, ia gamang. Pesona bulan yang memancarkan cahayanya, menemaninya dalam kesendirian. Bulan telah berada tepat di tengah langit atas, tak lagi berada di ufuk timur seperti sore menjelang malam tadi. Agak sedikit jauh dan mengecil, tapi cahayanya lebih terang benderang.
Tempat Fahrul duduk, hanya berjarak lima puluh meter dari masjid yang ada di kampungnya. Ia gamang, antara menuju masjid atau tidak. Ia merasa begitu kotor, oleh perilaku buruknya selama ini. Ia sangat menyesal. Tukang todong seperti dirinya, mana pantas untuk berada di masjid yang megah itu. Apalagi di dalam masjid, ia sering melihat seseorang yang memiliki cahaya bersih, sepertinya penjaga masjid. Memang karena ia jarang menjamah masjid bahkan bisa dibilang tak pernah, dalam jangka waktu yang lama semenjak ia mulai remaja dan bertemu dengan kawan yang salah. Maka ia tak mengenal orang itu, meski Fahrul asli penduduk kampung ini dan penjaga masjid adalah seorang pendatang.
Sekali lagi ia gamang. Lalu ditetapkan hatinya untuk melangkah maju menuju masjid. Fahrul benar-benar ingin bertaubat. Apakah ini salah? Tentu saja tidak, bahkan ini suatu perbuatan mulia. Ia benar-benar ingin meninggalkan dunia lamanya, untuk menuju dunia baru, yang lebih membuatnya tenang. Kemarin, ia sudah mempersiapkan gerobak untuk berjualan bakmie rebus dan nasi goreng di pengkolan ujung jalan yang berjarak satu kilometer dari rumahnya. Ia dulu pernah bekerja sebagai asisten penjual gerobak bakmie rebus sebelum ia terjun ke dunia kelamnya karena pengaruh teman dan juga terpukau akan mendapatkan harta yang banyak dalam waktu singkat.
Akhirnya Fahrul sampai juga di halaman masjid, lalu menuju tempat wudlu dan masuk area dalam masjid. Ia mulai sholat dua rekaat. Hatinya mulai tenang. Ditumpahkan segala kegundahan hatinya. Hingga ia tak menyadari ada seseorang yang memperhatikannya. Ia terlalu larut dalam munajatnya, memohon ampunan kepada Allah Yang Maha Penyayang, yang telah memberinya kesempatan bernafas hingga detik ini.
"Nak, apa yang membuatmu gundah?" Fahrul hanya terdiam membisu, lidahnya kelu, hanya bisa memunculkan senyum tipis pada seseorang itu. "Saya tahu, ada penyesalan di raut wajahmu. Sudah benar kamu datang di tempat ini dan bukan di tempat lain. Di sinilah, tempat yang terbaik, yang bisa mengurai segala kegundahan hatimu. Di rumah Allah. Di masjid. Kepasrahan dan baik sangka kepada Allah, akan melancarkan segala kesulitan yang sedang menghadang dirimu. Allah memiliki sifat Rahman dan Rahim, akan memberimu kesempatan baru, bila kamu bersungguh-sungguh." Fahrul tetap membisu, tapi tak terasa ada butiran bening meleleh dari sudut matanya. Fahrul benar-benar akan bersungguh-sungguh menetapkan hatinya untuk berubah. Ya Allah, aku benar-benar ingin bertobat, serunya dalam hati.
"Nak, kau serupa dengan diriku yang dulu." Lalu seseorang itu berlalu menjauhi dirinya menuju ke tempat yang lain, tapi masih tetap di area masjid. Sekilas Fahrul sempat melihat kulit kaki seseorang itu agak rusak oleh luka, mungkin sebuah tatto yang berusaha dihapus.
Langkah ringan Fahrul menuju pulang, bernaung cahaya rembulan yang masih bersinar terang. Sebentar lagi banyak yang akan bersahur, lalu imsyak, dan subuh. Pasti akan ramai, banyak penduduk kampung yang akan sholat jamaah di masjid.
Ditemani sang rembulan malam ini, cahaya terangnya menjadi saksi kesungguhan hati Fahrul. Desau angin malam membelai lembut, menyimpan gundah membuang resah. Fahrul telah menjelma menjadi manusia baru yang lebih baik.