"Selamat jalan sayang, semoga sukses buatmu, hati-hatilah selama kau jauh dariku."
"Terimakasih sayang, selamat tinggal." Hanya itu.
Kemudian tak lama, burung besi membawaku pergi menjauhimu. Ada perasaan hampa. Aku tak mengerti. Mungkin hatiku yang tertinggal. Tapi aku berusaha menguasai diri.
Hari selanjutnya, adalah hari-hari yang panjang tanpa kehadiranmu. Saat malam, bagiku sangat menyiksa. Bahkan aku sengaja tak pernah masuk kamar sebelum malam mulai beranjak pagi atau bila kantuk mulai tak bisa kuhindari. Aku dan kamu adalah satu paket.
****
Aku mulai sibuk dengan buku-buku dan tugas yang berjibun dari dosenku. Belajar di negeri tetangga membuatku membawa beban untuk berusaha secara maksimal. Tak bisa kuanggap main-main. Kesibukanku yang padat, sedikit memudarkan bayanganmu. Rutinitas mulai berubah. Kegiatanku di apartemen, dengan bersosialisasi sekitar apartemen, sedikit banyak juga menyerap energiku.
Berada di lingkungan baru mau tidak mau menuntutku untuk mengikuti irama mereka. Sebenarnya rutinitas itu berjalan lancer. Bangun pagi, membuat sarapan untuk diri sendiri, lalu pergi ke kampus untuk belajar. Siang hari, biasanya masih berada di kampus, kemudian malam hari pulang dan terpaku pada kamar, untuk tidur. Bila ada tugas yang aku kerjakan, maka malam itu juga aku selesaikan, baru beranjak tidur. Begitu seterusnya.
Tapi kadang-kadang aku merindukan tanah air. Aku rindu keluarga, Mama, Papa, Desi adikku. makanannya, aroma kota dan segala yang ada di tanah kelahiran. Aku juga rindu padamu. San.
Ah, San. Tiba-tiba bayanganmu muncul. Sedang apakah kamu di sana. Apakah kamu juga merasakan rindu seperti yang aku rasakan? Malam ini tugasku telah selesai. Laporan yang kubuat untuk presentasi besok telah aku siapkan. Tinggal tidur. Tapi tiba-tiba aku teringat padamu. Entah mengapa, hari ini aku agak mellow.
Telah satu tahun aku jauh darimu. Itu hitungan sepertiga dari perjanjian aku berada jauh darimu demi menyambut masa depan. Tak hanya untukku, tapi juga untukmu. Kamu berjanji untuk selalu setia padaku. Begitu pula denganku.
“Sasti, bagiku waktu tiga tahun adalah waktu yang lama. Tapi aku yakin, kita bisa melaluinya. Pergilah sayang, tuntutlah ilmu setinggi mungkin. Bea siswa yang kamu dapatkan, akan sia-sia bila kamu pesimis begini,” katamu memberikan semangat padaku, saat itu, ketika aku mulai kebingungan untuk menentukan pilihan antara tinggal atau berangkat.
“Tapi San, aku akan meninggalkanmu dalam waktu yang lumayan lama. Apakah kamu akan setia dan tak berpaling pada yang lain?”
“Hei, aku akan setia padamu, percayalah.”
Baik, aku percaya padamu, San. Dan dengan langkah penuh keyakinan, bea siswa itu aku ambil, belajar ke negeri tetangga selama tiga tahun.
Uuf.. aku menghela nafas panjang. Hingga kantukku tak bisa aku tahan. Aku tertidur pulas dan berharap bermimpi bertemu denganmu. Sandi Atmanto.
Bersambung....
Baca juga http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2014/11/12/saat-pergiku-kesatu-691011.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H