Lihat ke Halaman Asli

Deja Vu

Diperbarui: 17 Juni 2015   06:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14313666951843817819

[caption id="attachment_383155" align="aligncenter" width="641" caption=""][/caption]

Dinding ruang interogasi ini tak berubah. Masih sama seperti 3 bulan yang lalu saat aku dilibatkan oleh pihak kepolisian untuk menangani kasus pemerkosaan terhadap seorang anak gadis oleh bapaknya sendiri yang mengalami gangguan mental. Ruangan ini masih lembab dan jauh dari kesan bersahabat, meski bagiku terasa sangat familiar karena sudah lebih dari selusin kasus telah ku selesaikan di ruangan khusus ini.
Hari ini di hadapanku duduk seorang tersangka kasus pembantaian terhadap keluarga kandungnya sendiri. Namanya Alan, 37 tahun. Melihat wajahnya yang lumayan tampan dan agak terurus, barangkali orang takkan pernah menduga dia telah memenggal kepala ayah dan adik perempuannya sendiri, namun di mata seorang psikolog seperti aku, setiap orang pasti mempunyai sisi gelap dalam diri masing-masing dan kejadian yang menimpa Alan ini menurutku bisa saja dialami oleh siapapun.
Aku melangkah mantap memasuki ruang interogasi. Dengan penuh percaya diri, aku menaruh pantatku di atas kursi yang tepat menghadap ke arah Alan. Seberkas senyum ku sunggingkan di sudut bibirku.
"Halo, Alan. Selamat pagi. Saya Andira."
Seperti yang sudah-sudah, biasanya aku memulai percakapan dengan menyapa 'pasien'.
"Mulai hari ini hingga beberapa hari ke depan saya akan sering menemui Anda di ruangan ini untuk mengajukan beberapa pertanyaan."
Lawan bicaraku masih duduk diam. Mukanya masih tertunduk kaku dengan mata sayu yang menatap kosong ke bawah. Aku bisa maklum karena baru pertama kali ini kami bertatap muka. Pendekatan terhadap orang yang mengalami gangguan mental seperti ini memang butuh waktu dan proses-proses tertentu.
"Baik. Kita mulai dengan pertanyaan pertama. Apakah hari ini Anda baik-baik saja?"
Alan masih saja bungkam seribu bahasa. Posisi duduknya tetap tidak berubah. Masih sama persis seperti posisi duduk sebelumnya saat pertama kali aku menyapanya tadi.
"Alan, kamu tidak perlu takut sama saya. Disini cuma ada kamu dan saya. Saya tidak akan menyakiti kamu."
Aku mencoba mengubah gaya bahasaku untuk menciptakan keintiman dalam percakapan. Aku memang tidak membaca raut wajah ketakutan dalam diri Alan, namun orang yang mengidap penyakit mental seperti ini terkadang butuh penanganan yang bersifat privasi untuk sekedar merangsangnya agar mau berbicara.
"Baiklah. Saya memahami keadaan kamu saat ini. Saya tidak akan memaksa kamu bicara. Mungkin di lain waktu."
Sikap mematung pria ini tetap tak berubah.
"Baiklah kalau begitu, Alan. Sampai jumpa di lain kesempatan."
Belum sempat ku sempurnakan posisi berdiriku, tiba-tiba terdengar suara lirih dari bibirnya. Suara itu begitu lirih hingga tak mampu dicerna oleh indera pendengaranku. Sigap, aku membungkukkan badanku dan menengadahkan telingaku ke arahnya.
"Iya, Alan? Ada yang ingin kamu katakan?"
Perlahan mulut Alan bergerak.
"Kamu ..... Kamu ....." bisiknya sesekali menghela nafas yang aneh. Nafas yang bergetar seperti orang menahan kesedihan.
Sekujur badanku berdesir merasakan hembusan nafasnya. Seketika udara di seantero ruangan berubah menjadi hawa dingin yang menusuk tulang belulang.
"Kamu ..... Kamu ....." Alan masih mencoba membisikkan sesuatu.
"Kamu ..... Mati ....."
Tubuhku tersentak ke posisi berdiri. Lututku tiba-tiba bergetar hebat. Kata terakhir yang dibisikkan Alan seperti menyihir saraf-sarafku menjadi tak berfungsi. Organ-organku tak mau menuruti keinginanku, tak terkecuali mataku yang terus-menerus terpaku menatap lelaki aneh di hadapanku ini. Bola matanya perlahan mendongak ke arahku. Sorot matanya yang mengarah padaku kini berubah menjadi garang.
"Sudah cukup, Bu." Aku terkesiap mendengar suara petugas sipir dari mulut pintu ruangan. Kaku di sekujur tubuhku seketika cair dan ku putuskan untuk bergegas keluar. Akal sehatku benar-benar tak mampu menerima apa yang baru saja terjadi di ruangan itu. Peristiwa ini sungguh di luar logika. Entah apa yang baru saja terjadi.
. . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Hari ini adalah hari yang spesial. Ulang tahun Ayah ke-58. Untuk merayakannya, Lana, kakak laki-lakiku tadi menelponku untuk pulang lebih awal. Katanya, dia sudah menyiapkan kejutan untuk Ayah dan memintaku untuk membeli kue ulang tahun sepulang aku dari kantor.
Lana memang bukan sosok perlente seperti laki-laki kebanyakan. Walaupun memiliki wajah yang terbilang rupawan, dia justru lebih gemar memasak daripada merayu cewek. Meski begitu, bagiku dia tetap sosok pelindung dan pemomong, terutama di masa-masa sulit ketika ibu meninggal di usiaku yang baru menginjak 9 tahun.
Kami menjalani masa-masa krisis itu berdua tanpa Ayah yang depresi berat sepeninggal ibu. Ketika itu Ayah memang sering keluar dan pulang dalam keadaan mabuk berat. Di usianya yang 19 tahun kala itu, Lana bekerja pontang-panting untuk menghidupi keluarga dengan berjualan makanan di pinggir jalan. Semuanya dilakukannya dengan tulus. Dan, hari ini sekali lagi ketulusan hatinya dipertunjukkan untuk menghormati Ayah yang sebenarnya lebih sering mengecewakan kami selama ini.
Sesampainya di rumah, ku parkir motorku di halaman depan dan tanpa basa-basi aku bergegas masuk rumah.
"Kak, Dira pulang."
Karena tak ada jawaban, aku langsung menuju ke arah dapur, tempat dimana Lana biasanya berada. Dapur kosong. Aku mulai bingung, penasaran. Jangan-jangan dia juga menyiapkan surprise untukku juga. Maklum, kakakku ini memang kadang susah ditebak kalau lagi kambuh usilnya.
"Kak Lana, ....."
Sekali lagi ku panggil-panggil namanya untuk memastikan bahwa dia benar-benar di rumah. Masih tak ada jawaban.
Tiba-tiba,
BRUKK!
Suara mirip benda dibanting terdengar begitu kencang dari arah lantai atas rumah. Panik, aku berlari tergopoh-gopoh ke arah tangga. Sesampainya di tangga, aku mendapati sebuah pemandangan yang mengoyak-ngoyak sudut batinku.
Aku menyaksikan Lana sedang bergumul dengan Ayah di tepian tangga. Ayah menghimpit tubuh Lana yang kurus di bawahnya. Tangan kanannya menggenggam sebilah golok sementara tangan kirinya mencengkeram leher Lana yang mencoba bertahan.
"Kak Lanaaa!!"
Mendengarku memanggil namanya, Lana seketika berteriak.
"Dira! La ..... Lari!"
Aku tak bisa seenaknya saja lari dan meninggalkan kakak dan ayah kandungku dalam kondisi seperti ini. Pikiranku terus berputar-putar mencari solusi yang tepat sementara badanku yang terus gemetaran mulai lemas tak berdaya. Dalam situasi seperti ini, manusia seperti aku sering kehilangan daya berpikir logis.
Aku sudah kehilangan logika saat ku raih vas bunga di tepi tangga dan naik ke atas untuk ku pukulkan ke kepala ayahku sendiri.
PRANK!
Vas bunga itu pecah berantakan, sementara ayah tersungkur di samping tubuh Lana sambil memegangi bagian belakang kepalanya. Dan, sempat-sempatnya dia meracau, mengutuki kami berdua.
"Dasar anak sial! Gara-gara kalian ibumu mati! Lebih baik kalian mati saja sekalian!!"
Entah apa yang baru saja aku lakukan pada orang tuaku sendiri. Pikiranku sudah mati kutu. Rasa takut memaksaku untuk melakukan hal-hal yang tidak rasional. Tubuhku lemah terpaku setelah aksi penyelamatan yang ceroboh itu.
Sementara itu, Lana yang tersadar beranjak bangkit. Golok yang terlepas dari genggaman Ayah kini telah berada di tangan kanannya. Raut mukanya yang berdiri di depan tubuh Ayah seketika berubah.
"Kak Lana?" panggilku.
Sorot matanya kini berubah menjadi garang. Aku mengenali sorot mata itu namun itu bukan sorot mata kakakku. Aku terlalu sulit mengingat-ingat dalam situasi seperti ini. Sementara sorot mata itu terus mengarah tajam kepada Ayah.
"Kak?" Aku mencoba memanggilnya sekali lagi.
Sekarang, mata Lana dan Ayah telah bertemu. Ayah terpaku tak bergerak, seolah-olah saraf-sarafnya berhenti bekerja. Perlahan-lahan, Lana mengangkat golok yang dipegangnya ke udara.
PRAKK! Satu tebasan mendarat telak di pundak Ayah. Darah memancar deras.
"Kak Lanaa! Jangan, Kak! Jangan!" aku berteriak histeris ke arah Lana.
Lana hanya diam tak mau dengar. Bahkan, tangannya kembali mengangkat ke udara.
"Kak Lana, tolong dengar adik. Kak Lana?"
Aku mencoba berbicara pelan-pelan padanya tapi tangannya tetap tak mau turun. Dan, PRAKK! Sebuah gerakan tebasan yang kedua mendarat di leher Ayah, diiringi tebasan-tebasan berikutnya.
Lana benar-benar kalap. Amarahnya sudah tak terkendali. Sudah lebih dari sepuluh kali tebasan dihujamkannya ke tubuh dan leher Ayah. Aku sudah tidak sanggup lagi menyaksikan pemandangan mengerikan ini. Refleks naluriku yang buta membujuk tanganku untuk menarik tangan kanannya yang sudah berlumur darah. Namun, .....
PRAKK! Aku merasakan hujaman benda tajam tepat di kerongkonganku. Tubuhku ambruk seketika. Bau anyir datang mendesak hidung dan tenggorokan. Urat mataku mengeras sementara pandanganku justru semakin kabur. Masih sempat mataku menangkap sekilat bayangan seseorang. Sorot mata yang garang itu ......
__________________________________________

"Halo, Alan. Nama saya Ajeng. Saya ingin mengajukan beberapa pertanyaan."
".........."
"Baiklah. Kita mulai. Apakah Anda sudah siap, Alandira Kelana?"

Jakarta, 11 Mei 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline