Eksistensi genre musik Black Metal dewasa ini nampaknya semakin menggelora di seantero nusantara, khususnya di pulau Jawa dan Bali. Subgenre Heavy Metal yang kali pertama muncul dari daratan Britania Raya ini kini semakin digdaya menguasai gig-gig independent. Begitu banyak muncul nama-nama band Black Metal dengan ciri khas yang gahar, seram dan bernuansa horor serta aksi panggung yang lengkap dengan ritual mistis. Situasi ini tentu saja mengundang banyak pro dan kontra di kalangan masyarakat karena sebagian pihak menganggap bahwa genre ini dianggap sebagai genre yang ilegal lantaran lirik dan performance-nya banyak berorientasi pada kerusakan moral dan akhlak para penggemarnya.
Sedikit informasi, Black Metal pertama kali muncul pada tahun 1982 dan dipopulerkan oleh band asal Inggris, Venom. Patron musik Heavy Metal yang pada saat itu banyak terkontaminasi oleh Trash Metal diubah haluannya oleh band Venom dengan memasukkan lirik-lirik yang anti-christian. Fenomena ini kemudian dianggap menjadi peristiwa awal lahirnya subgenre Black Metal. Masih di tahun 80-an, Black Metal lantas berkembang ke seluruh pelosok Eropa, terutama di Eropa Timur, bahkan hingga merambah pasar Amerika. Tercatat beberapa band Black Metal papan atas mulai menunjukkan eksistensi mereka, seperti Bathory dan Hellhammer dari Britania, Mayhem dan Darkthrone dari Norwegia, hingga Dimmu Borgir dari Amerika Serikat.
Perkembangan genre musik ini di Asia memang belum terlihat signifikan. Barangkali, hanya Jepang dan China yang punya tradisi lumayan kuat. Pro dan kontra pun bermunculan disana. Alasannya, karakter ala Black Metal dianggap tidak sinergis dengan kehidupan ketimuran. Propaganda lifestyle Black Metal yang mengarah pada paham Atheism atau bahkan Satanis dipandang bisa sangat mempengaruhi perkembangan psikologis anak-anak usia remaja. Di Asia Tenggara, tepatnya di Malaysia, genre ini telah resmi dilarang dan diharamkan untuk tampil di event-event musik. Melihat realita yang ada di Indonesia saat ini, wajar apabila genre musik ini patut mendapatkan perhatian mengingat animo masyarakat penggemar musik underground saat ini mayoritas adalah anak-anak muda yang masih labil.
Di sisi lain, tidak bijak pula apabila seandainya Pemerintah negeri ini meniru langkah yang diambil Pemerintah Malaysia dengan memboikot genre musik Black Metal. Salah-salah bisa dianggap menggugat kreatifitas anak bangsa. Bukankah selama ini kebebasan berkreasi telah jelas diatur dalam Undang-Undang?
Pemerintah sebenarnya hanya perlu melakukan upaya pengawasan. Melalui Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, setidaknya perlu ada tindakan nyata dengan membantu menyaring segala macam jenis seni dan budaya yang masuk, salah satunya dengan menyelenggarakan beberapa seminar terbuka. Bagi para orang tua, fanatisme remaja terhadap musik Black Metal sebenarnya bisa dicegah dengan melakukan metode pendekatan moral. Dengan demikian, laju perkembangan pandangan Black Metal pun akan pudar.
Bermusik boleh saja, namun sudah selayaknya kita mampu membedakan antara musik dan pandangan hidup.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H