Lihat ke Halaman Asli

Timnas Indonesia, Kekalahan dan Tolok Ukur Kesuksesan

Diperbarui: 25 Juni 2015   08:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13314863951411964533

[caption id="attachment_167874" align="aligncenter" width="150" caption="Garuda"][/caption] Seperti sudah menjadi kebiasaan sebelumnya, timnas Indonesia lagi-lagi harus menelan kekalahan di partai final. Setelah edisi kegagalan berantai di gelaran Piala AFF, timnas U-21 Indonesia kembali harus bertekuk lutut di tanah Brunei dan harus puas hanya dengan meraih gelar runner-up di event turnamen Sultan Hassanal Bolkiah Trophy. Pada partai final kemarin, Indonesia takluk 0-2 dari Brunei Darussalam, negara yang selama ini justru hanya dianggap sebagai anak bawang di persepakbolaan Asia Tenggara. Hasil ini tentu saja makin mengukuhkan predikat Indonesia sebagai spesialis runner-up. Menyedihkan memang, namun memang hanya itulah sejatinya prestasi yang mampu kita raih. Menyoal kekalahan Indonesia di partai puncak Sultan Hassanal Bolkiah tadi, evaluasi sudah pasti menjadi hal yang paling mendesak harus dilakukan. Akan tetapi, bukankah setelah sederet kegagalan sebelumnya di event-event terdahulu, kita juga selalu bicara soal evaluasi? Nyatanya, hasilnya tetap tak jauh berbeda. Beberapa orang menilai bahwa kegagalan ini adalah buah dari kisruh PSSI yang terjadi selama ini. Bukankah PSSI di era kepemimpinan Agum Gumelar dan Nurdin Halid, yang dengan leluasa menguasai PSSI tanpa ada kisruh, pun nyatanya juga tidak mampu mengatasi kegagalan demi kegagalan timnas? Lantas apa lagi alasannya? Yah! Selama ini kita memang lebih suka mencari kambing hitam kekalahan daripada berusaha bangkit dan berbenah. Ini adalah mental kita yang sesungguhnya. Mental para pecundang yang hanya mengharapkan kesuksesan instan.

Banyak orang menghitung prediksi soal apa yang akan terjadi pasca kegagalan di Brunei. Yang utama menjadi pusat perhatian tentunya adalah kursi Djohar Arifin Husein, sang Ketua Umum PSSI yang selama ini terus menerus dirongrong. Padahal, jauh-jauh hari pria asal Medan itu sudah mengingatkan publik untuk tidak terlalu menaruh harapan lebih kepada skuad timnas U-21 yang tampil di Brunei karena mereka sejatinya adalah tim yang akan diproyeksikan untuk SEA Games 2013 di Myanmar. Lagipula, menurut Koordinator Tim Nasional, Bob Hippy, setelah turnamen Hassanal Bolkiah, seleksi akan kembali dilakukan untuk membentuk skuad yang nantinya akan menjalani TC. Poinnya adalah tujuan keikutsertaan timnas U-21 di turnamen ini hanya untuk memberikan pengalaman internasional bagi pemain muda.

Kalau boleh saya beranalogi, pemikiran publik mainstream Indonesia setali tiga uang dengan pemikiran Roman Abramovich, milyarder penguasa saham tim elit Liga Primer Inggris, Chelsea. Menurut pandangan saya, Abramovich adalah sosok ambisius yang tidak mampu menggunakan kesabarannya. Setiap manager yang dianggapnya gagal ketika menangani Chelsea langsung dipecat. Pria asal Rusia itu seperti tidak menyadari bahwa seorang Sir Alex Ferguson pun butuh waktu 2 tahun untuk membawa Manchester United bertahta di kompetisi Inggris. Dan, metode pemikiran seperti ini justru diadaptasikan oleh banyak orang di Indonesia untuk menyikapi segala hal, termasuk kekalahan demi kekalahan yang terus mendera tim nasional.

Masyarakat penggemar olahraga sepakbola di Indonesia sudah seharusnya menyadari bahwa negara ini tidak akan pernah bisa berjaya tanpa kerja keras dan kesabaran. Rencana PSSI era Djohar Arifin untuk meluncurkan program pembinaan usia dini secara terpadu sebenarnya bisa menjadi solusi dari permasalahan krisis prestasi di tubuh timnas saat ini. Sayangnya, hanya beberapa pihak saja yang mendukung. Kebanyakan masyarakat memilih untuk menuntut PSSI segera memberikan prestasi dengan motto ‘Sekarang atau tidak sama sekali’. Bahkan, Presiden SBY pun ikut-ikutan latah dengan mengeluarkan statement dan kritik yang tidak perlu.

Saya sedikit mengutip kata-kata ajaib dalam buku ‘Negeri 5 Menara’, yaitu man jadda wa jada. Siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil. Seorang Ahmad Fuadi, sang penulis, menganggap mantera ajaib ini masih belum cukup untuk meraih kesuksesan sehingga di buku kedua ‘Ranah 3 Warna’ dia menambahkan kata-kata man shabara zhafira. Siapa yang bersabar akan beruntung. Yah! Dengan kesungguhan PSSI dalam menjalankan program-program pembinaan dan kesabaran kita dalam menunggu perkembangan demi perkembangan yang akan terjadi, kesuksesan dan keberuntungan pasti akan menaungi timnas Indonesia di masa mendatang. Apabila untuk bersabar saja kita tidak mau, ya beeginilah hasil maksimal yang kita bisa dapat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline