Sebulan ini, saya dan beberapa teman sedang sibuk-sibuknya menyiapkan acara reuni teman-teman alumni sekolah pelayaran di sebuah kota. Nyaris tiga puluhan tahun silam, kami menentukan nasib sendiri-sendiri dengan memilih jalan hidup masing-masing.
Sebagai sesama alumnus sekolah pelaut, persisnya alumnus pensiunan melaut, tentu saya bisa sedikit menebak-nebak apa saja yang kira-kira diceritakan oleh sahabat-sahabat lama saya itu. Tentang perkembangan dunia kerja perkapalan, tentang penggajian pelaut saat ini, dan yang menarik siapa tahu bisa menambah informasi tambahan penulisan buku saya.
Tetapi, di antara semua itu, saya merasa dalam banyak obrolan selalu muncul baik secara riil maupun abstrak satu analogi kehidupan di kapal dengan situasi kenegaraan kita saat ini. Entah itu saat kapal sedang berlayar apalagi kalau kapal sedang mengalami suasana marabahaya.
Tak terkecuali ketika yang dibicarakan adalah pengalaman kepemimpinan di laut. Ada seorang tokoh yang mendefinisikan karakter kepemimpinan di darat dengan mengambil contoh dari kepemimpinan di laut. Sosok seorang pemimpin yang paling bertanggung jawab dalam menentukan arah dan tujuan kapal.
Bagi banyak orang, kehidupan semacam itu mungkin tidak terlalu penting. Tetapi kita tentu dapat mengira bahwa tidak semua nahkoda kapal memiliki kejelian yang sama. Ini bukan tentang mahir tidak mahir. Yang saya maksudkan adalah kesigapan nahkoda ketika kapal-nya sedang ling-lung, apalagi ketika seluruh teknologi di kapal tersebut sedang tidak dapat dikendalikan.
Adalah peran penting nahkoda untuk keluar dari pakem agar dapat membebaskan kapalnya dari resiko yang lebih besar.
***
Ontran-ontran tahun 1998 ditandai dengan penggulingan Presiden Soeharto. Masyarakat mengalami tingkat kejenuhan luar biasa dengan gaya kepemimpinan rezim. Hal ini berlanjut pada pembekuan GBHN dengan tujuan mengurangi hegemoni peran MPR tahun 2000.
Pasca penggulingan Pak Harto, suasana politik belum stabil hingga puncaknya pelengseran paksa Presiden Gus Dur dan digantikan Wakil Bu Mega. Euforia anti Seharto terus berlangsung secara masif hingga lahirnya orde reformasi.
Hampir dua dasawarsa negara kita dijalankan tanpa GBHN. Sistem presidensial yang dianut memungkinkan peran pemerintahan dan kenegaraan bersentral pada seorang presiden.
Sebagaimana terjadi di beberapa negara termasuk Amerika, Indonesia mengikuti langkah-langkah mereka dengan mewajibkan para calon presiden menyusun janji suci sebagai pengganti haluan negara dalam kepemimpinannya. Janji suci kandidat, kemudian ditukar-tambahkan dengan suara rakyat dalam pilpres.