Lihat ke Halaman Asli

Wahyu Aji

ya begitulah

Pak Luhut dan Motivasi untuk Kita Semua

Diperbarui: 3 April 2020   20:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar tirto.id

"Kepala, pundak, luhut lagi luhut lagi"

Syahdan, sebelum masa pemilu tahun lalu yang begitu heboh, sebuah nama Luhut tidaklah terlalu menarik bagi saya. Walaupun sosoknya sudah dikenali, bagi saya saat itu, beliau tak lebih dari politikus yang penuh semangat. Namun, pandangan dangkal saya kini mulai tercerahkan oleh sepak terjang Pak Luhut belakangan ini. Selain juga faktor media yang santer memberitakan dan menampilkan wajah beliau, nyatanya saya kagum dengan keahlian yang Pak Luhut perlihatkan.

Asal kalian tahu saja guys, beliau sangatlah berpengalaman dalam menempati posisi yang banyak. Pria kelahiran 28 September 72 tahun lalu ini sudah pernah menempati posisi Menkopolhukam, Kepala Staf Kepresidenan, Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Dubes, dan sekarang menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Kamaritiman dan Investasi. Belum lagi jabatan beliau kala masih di dunia kemiliteran. Mungkin jika dikonversikan ke dalam poin SKKM mahasiswa, sudah barang tentu beliau adalah mahasiswa berprestasi.

Kejadian yang dialami oleh Pak Luhut membuat saya merasa dejavu. Seolah alam semesta kembali mengingatkan saya akan masa kecil saya. Kala itu, di sekolah dasar yang saya tempati, ada seorang anak yang benar-benar pintar. Ia pintar dalam matematika yang mana jika ingin dibilang pintar, maka harus bisa mata pelajaran tersebut. Juga pintar dalam hal seni, suaranya juga bagus, sering diminta untuk ikut ekstrakulikuler Habsyi di sekolah, sedangkan saya saja yang sukarela ikut kadang tidak dipanggil. Kemudian juga mematahkan mindset bahwa anak pintar akademik kadang payah olahraga. Ia juga pernah juara lomba lari tingkat Kecamatan. Bagaimana saya tidak iri waktu itu dan menjadi penyakit hati pertama yang menggerogoti kehidupan suci saya.

Kesamaan antara Pak Luhut dan teman sekolah tersebut kembali menaikkan gairah hidup dan semangat. Entahlah kalau ternyata mereka memang punya hubungan darah ataupun ternyata keturunan Aleksander Agung, tetapi orang-orang yang seperti itu kadang bikin kita (atau hanya saya) menjadi iri. Toh bisa mereka melakukan banyak hal, sedangkan saya naik tangga lebih dari 10 anak tangga saja sudah kelelahan dan dibantu Tim SAR turunnya.

Kalau Pak Luhut saja bisa, kenapa kita tidak? khususnya mungkin bagi sebagian orang, sebuah pencapaian adalah sebuah anugerah langit. Dimana mereka merasa bahwa hidup ini akan jauh lebih berharga ketika hidup tak semata-mata bernafas saja. McClelland menyampaikan sebuah teorinya mengenai kebutuhan manusia yang juga dikenal sebagai Three Needs Theory. Salah satunya adalah kebutuhan untuk berprestasi ataupun mendapatkan pencapaian. Capaian Pak Luhut sudah sangat layak dijadikan motivasi. Bahkan saya yakin, tanpa kita sadari, beliau diam-diam memotivasi kita semua untuk lebih bisa berprestasi.

Motivator tersebut ada dalam sosok capaian Pak Luhut. Kita seringkali tertuju pada subjeknya, padahal yang lebih penting adalah apa yang telah subjek itu lakukan. Tentu jika Anda seorang sadar, maka Anda pasti termotivasi, khususnya kaula muda, terutama para pria. Kaum pria perlu sesuatu yang dibanggakan dan sayup-sayup pujian. Kaum pria suka itu. Apalagi bagi kalian yang masih muda. Jika ada pencapaian, apapun itu, kita pasti akan bangga bila suatu saat nanti ada orang menanyakan kapabilatas kita. Tinggal perlihatkan CV ataupun buku biografi pribadi Anda. Jelas mereka akan terkesan dan para pria akan tersenyum penuh kemenangan.

"Kepala, pundak, luhut lagi luhut lagi"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline