Lihat ke Halaman Asli

Wahyu Aji

ya begitulah

Bagi Petani, Ini Perlunya Perundang-undangan yang "Mengatur Ayam"

Diperbarui: 13 Desember 2019   12:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber ilustrasi: 123rf

Sekitar dua bulan yang lalu menjelang masa akhir jabatan wakil rakyat Senayan, mereka dihadapkan dengan urusan yang mahaberat, yaitu penetapan RUU KUHP. 

Selaku rakyat, saya sangat merasakan betapa pusingnya mereka, empati saya tertuju kepada mereka. Apalagi pada saat itu, perjuangan para wakil rakyat untuk mewujudkan hukum mulia tersebut dihadapkan dengan berbagai gerakan turun ke jalan oleh beragam pihak yang disebut penduduk Indonesia.

Selain karena isi kandunganya yang dinilai tak masuk akal dan berlebihan, RUU tersebut disinyalir akan merugikan banyak pihak dan menguntungkan pihak tertentu. Tetapi kala itu saya tertuju pada satu pasal yang mengulas tentang ayam. 

Pertama kali mengetahui hal tersebut, tentunya nalar dan logika saya membantah untuk menyetujuinya. Bagaimana bisa pasal tersebut diributkan dan apakah tidak ada kepentingan yang lebih mendesak selain mengurusi ayam makanan favorit kita semua tersebut?

Berselang beberapa bulan kemudian, saya mendapatkan sebuah pencerahan dari pengalaman empiris yang saya alami sendiri. Berkenaan dengan pasal 278, 279 280 RUU KUHP tentang unggas yang saya tertawakan dahulu, kini saya mendapatkan karmanya. Sudah hampir setahun di samping kediaman, saya berkebun sayur. Tentu saja sayur yang saya tanam untuk dijual bukan untuk semata-mata menambah pasokan oksigen manusia. Semua berjalan lancar hingga suatu ketika tanaman saya hancur dan rusak karena ayam.

Sebagai informasi tambahan, menanam tanaman termasuk sayuran memerlukan waktu. Meskipun tidak selama menunggu pohon durian berbuah, tetapi menjaga dan merawatnya juga butuh waktu yang banyak. Mulai dari menjaga daya hidupnya ketika biji timbul akar kemudian tunas. Menyiram dan memupuk. Kemudian menjaganya dari serangan hama serangga. Jadi jangan kira sayuran saya tiba-tiba tumbuh begitu saja seperti gulma babandotan di pinggiran jalan.

Kembali pada kasus, tentu ketika tanaman yang dirawat sepenuh hati layaknya anak sendiri tersebut mati, kita selaku petani menjadi rugi. Tapi kan itu cuma tanaman? Memang, tapi pikirkan orang yang menjadikannya mata pencaharian. Berkebun tentunya tak hanya menanam satu tanaman saja biar dapat laba. Belum lagi perawatannya yang juga memerlukan biaya. Tapi ternyata setelah hampir panen malah rusak dan mati. Bagaimana tidak kesal.

Tentu peraturan tersebut mengenai unggas tidak ditujukkan bagi Sang Unggas. Ayam ataupun jenis unggas lainnya memang tidak memiliki akal, ia tak tahu mana yang benar dan salah. 

Sebaliknya, orang yang memiliki ayam lah yang berakal. Saya yakin yang membuat peraturan tersebut merasakan hal yang sama dengan saya dan yang lainnya dengan kasus serupa.

Lalu kemudian timbul intruksi dari teman untuk membuat kandang agar tanaman saya tidak diganggu oleh sang ayam. Oh benar juga kata saya, tetapi sepersekian detik kemudian pikiran saya tercerahkan lagi. Kok bisa-bisanya saya yang mengeluarkan biaya untuk sesuatu yang bukan tanggung jawab saya. Ayamnya miliki tetangga, yang bikin ulah tetangga, kenapa saya harus menanggung solusinya dan mengeluarkan biaya untuk membuat kandang?. Aneh.

Saya tahu yang jadi kontroversi dari pasal tersebut adalah tanggungan denda yang harus dibayar pemilik ayam. Cuma ayam kok segitunya dendanya? Bukankah begitu. Tetapi balik lagi, tanaman memang hanya satu, tetapi setiap hari. Untungnya ayamnya tidak bergerombol, bagaimana rasanya jika semua ayam merusak satu-satu tanaman. Rugi juga kan?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline