Lihat ke Halaman Asli

Wahyu Triono KS

Peofesional

Perlukah Rekonsiliasi?

Diperbarui: 9 Juni 2019   17:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh. Wahyu Triono KS
Universitas Nasional, Founder SSDI dan Leader Indonesia

Pasca pengumuman hasil pemilu oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan bentrok atau tepatnya kerusuhan yang menewaskan warga masyarakat pada 21 - 22 Mei 2019, seruan rekonsiliasi mulai menggema dengan satu tema utama persatuan Indonesia.

Sebahagian berpendapat tidak ada rekonsiliasi dan persatuan yang dibangun di atas pondasi ketidak jujuran dan ketidak adilan yang masih dirasakan oleh salah satu pihak.

Oleh karenanya, perlu bagi kita untuk memberikan apa solusi dari persoalan konsolidasi demokrasi di Indonesia agar tidak terancam menuju negara gagal?

Membajak Demokrasi

Hari-hari ini kita merasa khawatir dengan gagalnya konsolidasi demokrasi di Indonesia yang mengancam Indonesia menjadi negara yang gagal menjalankan transformasi pasca reformasi akibat demokrasi yang dibajak.

Para teorisasi demokrasi dan para ahli telah melakukan riset, kajian dan studi tentang kegagalan konsolidasi demokrasi di berbagai negara berkembang karena demokrasi yang dibajak.

Siapa yang membajak demokrasi? Dalam tinjauan Ekonomi Klasik dan Ekonomi Politik perspektif ilmu administrasi publik fenomena memburu rente (rent seeking) yang pertama sekali diperkenalkan oleh Anne O. Krueger (1974) adalah pembajak demokrasi, dimana melalui fenomena ini dapat dijelaskan bagaimana pola relasi bisnis dan politik sebagai perilaku negatif.

Mengapa dianggap negatif, karena rent seeking merupakan perburuan pendapatan dengan cara monopoli, lisensi dan penggunaan modal kekuasaan di dalam bisnis. Pengusaha memperoleh keuntungan dengan cara bukan persaingan yang sehat di dalam pasar. Kekuasaan dipakai untuk mempengaruhi pasar sehingga mengalami distorsi untuk kepentingannya (Racbini:2006).

Fenomena kedua soal pembajakan demokrasi adalah dalam perspektif politik patrimonial atau klientilisme (pola relasi patron-klien) sebagaimana dikemukakan oleh Benedict RO'G Anderson dalam Language and Power (2006), dimana pola relasi antara patron dan klien didasari oleh kebutuhan saling menggantungkan, tetapi juga saling menguntungkan.

Dengan memanfaatkan otoritas formal yang digenggamannya, sang patron bertindak sebagai pengayom, pelindung, atau penjamin eksistensi si klien. Sebaliknya si klien berkewajiban menopang ekeistensi sang patron. Jika salah seorang diantara keduanya runtuh, maka yang lain juga ikut runtuh.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline