Lihat ke Halaman Asli

Wahyu Triono KS

Peofesional

Beras Petani

Diperbarui: 25 Oktober 2018   09:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bagi orang kampung dan orang kebanyakan, meski sudah sarapan roti, pisang goreng, atau sepiring ketupat sayur, atau ketan dan bubur. bila ditanya apakah sudah makan? Selalu berkata belum, kalau belum makan nasi.

Mengapa? Karena makan itu, berarti makan nasi bersama lauk pauk. Nasi masih menjadi makanan pokok yang belum tergantikan dengan makanan lainnya.

Petani Tetap Miskin

Nasi yang berasal dari beras petani itu, selain wujud dari kultur agraris juga menjadi refleksi dari komitmen negara dan pemerintah memajukan kesejahteraan umum, lantaran petani dalam pendekatan sosioligis merupakan stratifikasi sosial yang selalu dijadikan komoditas dan objek pembangunan, sementara nasibnya selalu terabaikan akibat sistem dan kebijakan yang tak pernah berpihak pada petani.

Bung Karno menyebut stratifikasi sosial masyarakat petani ini sebagai Marhaenisme. Sebagaimana penggal dialog Bung Karno ketika melakukan perjalanan ke sebuah desa dan bertemu dengan seorang petani, Bung Karno bertanya, "Siapa yang memiliki tanah yang sedang dikerjakan?" Si Petani menjawab, "Miliki saya." "Siapa yang memiliki pacul itu?" "Milik saya." Katanya lagi. "Siapa yang memiliki alat-alat pertanian itu?" "Milik saya" Jawab petani sekali lagi, petani itu bernama Marhaen.

Jelas kata Soekarno, Si petani tidak menjual tenaganya pada majikan sebagai seorang proletar. Si petani memiliki alat-alat produksi. Panen adalah panennya sendiri, akan tetapi petani Marhaen itu tetap miskin.

Ideologi Marhaenisme

Terkesan dengan pertemuan dan dialog dengan petani bernama Marhaen pada 1920 di sebuah desa di Bandung dan ingin memperjuangkan nasib para petani dan orang-orang kecil seperti Marhaen itu, Bung Karno melahirkan suatu ideologi bernama Marhaenisme.

Ideologi dan perjuangan partai dan pemerintah yang menjunjung paham dan ideologi Marhaenisme yang dilahirkan Bung Karno paling tidak terlihat dari program dan kebijakan yang pro terhadap nasib orang kecil termasuk nasib petani.

Bila terjadi surplus beras dari hasil panen petani di seluruh wilayah Indonesia sementara pemerintah mengambil kebijakan mengimpor beras berarti partai dan pemerintahan itu tidak sungguh-sungguh meneruskan dan memperjuangkan ideologi Bung Karno.

Menggunakan paham dan ideologi Bung Karno hanya untuk mendulang dukungan massa pemilih dari pemilu ke pemilu tetapi dalam visi dan komitmen pembangunannya tidak membela dan memperjuangkan nasib petani dan orang kecil adalah penghianat paling nyata dari paham dan ideologi Marhaenisme Bung Karno.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline