Lihat ke Halaman Asli

Wahyu Triono KS

Peofesional

Politik Pajak

Diperbarui: 14 Oktober 2015   04:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Ketika mendampingi beberapa calon kepala daerah dalam proses tahapan Pilkada serentak beberapa waktu yang lalu, hal menarik yang menjadi perhatian saya adalah berkaitan dengan salah satu persyaratan administratif bagi para calon kepala daerah agar melengkapi foto copy NPWP, tanda terima penyampaian SPTPP dan tanda bukti tidak mempunyai tunggakan pajak dari Kantor Pelayanan Pajak (KPP).

Pembahasan kali ini berkaitan dengan kepatuhan wajib pajak, kebijakan politik pemerintah yang masih berkutat pada upaya untuk mengejar target pemasukan pajak yang sebesar-besarnya ke kas negara tanpa diikuti pembaharuan dalam birokrasi atau pemungut pajak (fiskus) ditinjau dari aspek politik pajak atau demokratisasi pajak di Indonesia.

Hal lain yang relevan untuk kita bahas adalah pentingnya persyaratan kepatuhan pajak bagi para calon kepala daerah. Apakah hanya sekadar persyaratan administratif belaka atau dapatkah kita memastikan agar para calon kepala daerah menjadi teladan yang dapat menjadi suatu bentuk edukasi bagi wajib pajak dalam meningkatkan kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak.

Membajak Wajib Pajak

Seiring dengan menipisnya sumber daya alam, seperti minyak bumi dan gas alam, maka penerimaan dari sektor migas tersebut semakin berkurang. Saat ini sumber utama pendapatan negara dalam APBN yang terbesar adalah dari pajak.

Berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah untuk mengejar pemasukan pajak, namun hal itu menyisakan beberapa permasalahan. Pertama, kebijakan perpajakan atau politik perpajakan kita yang terkesan tanpa memperdulikan hak-hak individu serta kebebasan wajib pajak. Politik perpajakan demikian sama sejak zaman kemerdekaan hingga reformasi, terkesan dipaksakan (tergantung keinginan politik pemerintah), serta sangat minim dalam redistribusinya kepada masyarakat, sehingga sulit mengatakan bahwa kebijakan fiskal di Indonesia sudah demokratis. Bahkan cara-cara pemungutan pajak demikian bisa dikatakan sebagai pencurian/perampokan hak milik rakyat atau membajak wajib pajak.

Kedua, kasus pajak menduduki peringkat kedua setelah kasus korupsi yang sedang mewabah saat ini. Dari sejak dahulu, Direktorat Jenderal Pajak terkenal sarat dengan permainan antara para pegawai yang terkait dengan para wajib pajak sehingga menyebabkan berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap Direktorat ini, bahkan sudah menjalar ke arah ketidakpercayaan masyarakat kepada pemerintah. Hal ini membuat masyarakat enggan untuk taat membayar pajak walaupun itu merupakan kewajiban sebagai warga negara yang baik.

Ketiga, ketidakpatuhan wajib pajak timbul apabila wajib pajak tidak mempunyai pengetahuan perpajakan yang memadai, sehingga wajib pajak secara tidak sengaja tidak melakukan kewajiban perpajakannya (tidak mendaftarkan untuk memperoleh NPWP, tidak menyampaikan SPT dan lain-lain).

Hal yang sangat krusial dari kebijakan Direktorat Jendeal Pajak adalah berkaitan dengan upaya terakhir penagihan pajak, melalui penyanderaan (gijzeling) tentu saja harus diberlakukan secara hati-hati kepada penanggung pajak yang memiliki utang pajak sedikitnya Rp 100 juta dan memiliki aset untuk melunasinya, namun diragukan itikad baiknya dalam melunasinya.
Saat ini, Direktorat Jenderal Pajak mencatat bahwa terdapat 15.000 wajib pajak dengan nilai utang pajak Rp 100 juta atau lebih. Khusus untuk wajib pajak badan, termasuk dalam pengertian pengurus yang merupakan penanggung pajak yang dapat diusulkan penyanderaan.

Kehati-hatian dalam upaya penyanderaan (gijzeling) yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak dapat dilakukan melalui himbauan secara terus menerus yang disampaikan kepada wajib pajak yang memiliki utang pajak untuk senantiasa melakukan komunikasi dan bersikap kooperatif dengan KPP.

Selain itu, Direktorat Jenderal Pajak musti terus berupaya untuk menerapkan penagihan pajak dengan memperhatikan itikad baik wajib pajak dalam melunasi utang pajaknya. Semakin baik dan nyata itikad wajib pajak untuk melunasi utang pajaknya maka tindakan penagihan pajak secara aktif (hard collection) dengan pencegahan ataupun penyanderaan tentunya dapat dihindari. Kemudian, tidak kalah penting lagi tentang penerapan prinsip hukum secara umum bahwa pemungutan pajak secara adil dan sesuai dengan kemampuan membayar (ability to pay) harus diperhatikan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline