Lihat ke Halaman Asli

Antara Desi si Penjual Slondok dari Yogyakarta dan Hyong-jin si Pemetik Persimmon dari Sangju...

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

merdeka.com (Desi si Penjual Slondok)

[caption id="" align="aligncenter" width="536" caption="merdeka.com (Desi si Penjual Slondok)"][/caption] Sebuah artikel di Kompas online pagi ini yang berjudul "Desi si Penjual Slondok" menarik perhatianku. Saat membaca artikel itu emosiku serasa diaduk-aduk. Karena sedemikian menarik dan menginpirasi, semua link artikelnya aku lahap habis. Disaat teman-temannya sedang keranjingan gadget dan bergaya hidup hedonis, sebaliknya dia sibuk mencari uang untuk membantu orang tuanya dengan berjualan slondok. *** Namanya Desi Priharyana, adalah siswa SMKN 2 Yogyakarta yang setiap harinya berangkat kesekolah dengan mengayuh sepeda yang belakangnya dilengkapi dengan "gerobok" (keranjang) berisi slondok (makanan khas Yogyajarta). Desi berasal dari keluarga yang kurang beruntung secara ekonomi. Oleh karena itu, sejak SD dia telah membantu ayahnya yang bekerja sebagai kuli bangunan di Sleman. Pagi-pagi dia berangkat kesekolah sambil menjajakan slondok-nya. Disaat istirahat di sekolah, dia juga menjajakan slondoknya ke teman-teman maupun gurunya. Setiap hari dia bisa menjual slondok antara 30-50 bungkus dengan keuntungan Rp. 1.000,- per bungkus. Rata-rata sebulan dia bisa mengumpulkan uang Rp. 250.000 dari berjualan slondok, yang kemudian digunakan untuk membayar uang sekolahnya dan juga adiknya. Trus siapa Hyong-jin? Hyong-jin adalah teman satu kamar (roommate) saat aku pertama kali datang di Kampus Sangju, Korea. Anaknya tinggi besar, dan tidak banyak bicara, karena memang sulit bicara dalam bahasa inggris. Aku sendiri saat itu msh "nol pothol" istilah orang Jawa yang artinya tidak bisa sama sekali bicara dalam bahasa Korea. Setiap hari sabtu dan minggu aku lihat dia berangkat jam 6, pagi sekali untuk ukuran anak Korea. Saat berangkat dia selalu menggunakan pakaian yang sama. Pulangnya biasanya diatas jam 6 sore dengan pakaian yang lusuh dan kotor. Suatu saat aku lihat dia pulang membawa tas plastik yang berisi buah Persimmon. Buah Persimmon adalah buah yang menjadi unggulan kota Sangju, rasanya manis jika masak tetapi sepat jika belum masak penuh. Kalo di Indonesia buah ini dikenal dengan nama "Kesemek" atau Diospyros kaki (nama latin). Ternyata dia bekerja part time atau istilah orang Korea "arbeit", sebagai pemetik buah Persimmon. Makanya, bajunya selalu lusuh dan kotor ketika datang, apalagi selepas hujan turun.

[caption id="" align="aligncenter" width="545" caption="www.victory-over-diseases.com (Persimmon/Kesemek)"]

www.victory-over-diseases.com (Persimmon/Kesemek)

[/caption] Kerja paruh waktu, part time, atau "arbeit" sangat umum dilakukan oleh mahasiswa Korea yang kebanyakan berasal dari keluarga yang cukup mampuh secara ekonomi. Mereka tidak pernah malu atau rendah diri bekerja seperti Hyong-Jin yang jadi pemetik Persimmon, atau bekerja jadi pelayan restoran, bahkan bekerja membersihkan kantin Kampus. Mereka sepertinya malah lebih bisa menerapkan istilah yang sering kita dengar; "kenapa malu wong gak nyolong kok". Sebaliknya hal tersebut malah menjadi sesuatu yang luar biasa jika terjadi di Indonesia, seperti cerita tentang Desi si Penjual Slondok itu. Tidak jarang anak-anak seperti Desi ini dipandang rendah dan dilecehkan atau sekedar mendapat tatapan aneh dari anak-anak sebayanya. Apakah ada yang salah dengan budaya kita? ataukah kita telah salah mendidik anak kita? sehingga menjadi pribadi-pribadi yang konsumtif dan hedonis? Mudah-mudahan ini bisa menjadi renungan kita bersama... Salam... (Sangju, 23/1/2014; 04.38 pm)



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline