Sabtu, 27 Januari 2018, pukul 02.00 dinihari, ratusan warga RW 003 Kelurahan Krukut, Kecamatan Tamansari, Jakarta Barat, berjibaku menghadapi kobaran api. Biasanya, setiap api yang datang ke area ini dengan cepat bisa dipadamkan warga. Kampung yang hampir tak pernah tidur ini adalah kawasan yang sangat padat penduduk. Julukan "Anak Tanjakan" di kampung ini memang terkenal kompak dalam mengatasi masalah apapun. Tanjakan adalah kawasan asal di Kabupaten Tangerang, tempat sebagian asal muasal warga Banten yang berada di sini.
Bukan saja dalam menghadapi api, warga kawasan ini juga terkenal solid dan kuat dalam berhadapan dengan kelompok massa lain. Peristiwa Ketapang tahun 1999 yang berdarah itu, juga melibatkan sapuan pedang anak-anak muda Krukut ini. Begitu juga dengan barisan anak-anak muda yang tergabung dalam Front Pembela Islam (FPI) dan beragam kelompok aksi lainnya. Jalan Talib III, berbeda dengan jalan lainnya, paling sulit dilalui kendaraan roda empat. Yang lalu lalang hanyalah mobil keluarga saya, beserta satu-dua mobil tetangga. Selebihnya, barisan sepeda motor terparkir di menutupi jalanan.
Kegiatan dankdutan sama meriahnya dengan pengajian yang berlangsung sampai tengah malam lewat. Setiap Minggu malam, terdapat pasar malam, yakni para pedagang kaki lima bebas berjualan. Kegiatan ini sudah berlangsung bertahun-tahun, sejak krisis ekonomi. Saya sendiri sebagai bagian dari "urang sumando" di kampung ini sejak tahun 2002, menolak kegiatan pasar malam itu dihapus. Jauh sebelum Gubernur Anies Baswedan menutup salah satu jalanan di Tanah Abang, Jalan Talib III sudah mempraktekkannya, tetapi hanya untuk satu malam dalam sepekan. Di hari-hari yang lain, terutama Sabtu dan Minggu, jalanan juga ditutup untuk kegiatan resepsi pernikahan. Terkadang, apabila mobil saya terlambat masuk ke garasi rumah, terpaksa mobil itu bermalam di tempat parkir di pinggir Kali Krukut atau dekat Pos RW.
Saya tidak begitu peduli dengan penyebab kebakaran, ketika sibuk memadamkan api yang sudah menjilat dinding rumah saya. Saya menghabiskan energi untuk menyirami seluruh rumah dengan air dari ember-ember plastik yang tersedia dalam baskom-baskom besar di lantai satu, dua dan tiga. Antisipasi itu ternyata menjadi satu mu'jizat, yakni api menghindari rumah saya. Padahal, pinggiran loteng lantai satu sudah diciumi api. Sepupu istri saya menarik tangan saya, supaya segera turun, mengingat api sudah mengepung sayap sebelah barat dan utara rumah saya.
Dalam artikel nanti, saya akan tulis soal kenapa rumah kami bisa terhindar dari api.
Sampai keesokan harinya, ketika anak-anak saya inapkan di satu hotel sederhana yang masih ada kepinding (kutu busuk)-nya, pihak yang punya penginapan pulang lebih cepat. Mungkin dia mengira saya satu etnis dengannya. Cicih itu menyebut, "Benarkah orang kita yang membakar, Koh?" Saya kaget.
Otomatis, jawaban saya adalah sudah diselidiki polisi. Saya tidak mau berspekulasi. Tapi, dengan ketakutan yang muncul di wajah Cicih itu, saya menjadi paham bahwa jika ada pihak-pihak yang tak bertanggungjawab "menggoreng" isu ini, maka api akan menjilati kawasan lain. Saya memutuskan bertemu dengan simpul-simpul warga, agar isu ini tidak meruyak. Waktu mendapingi Gubernur Anies Baswedan, saya juga membisikkan agar Bro Anies tidak terpancing menjawab dengan detil masalah ini. Benar saja, ada wartawan yang bertanya, lalu Anies menjawab normatif: sudah ditangani polisi.
Ketika api sudah berhasil dijinakkan di Krukut, dalam jarak dua jam perjalanan jika lancar jaya, KH Umar Basri dianiaya di mesjidnya, usai sholat Subuh. Lokasi kejadian di Mesjid Al-Hidayah Sentiong, Kampung Sentiong, Desa Cicalengka Kulon, Kecamatan Cicalengka, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Tak ada yang melihat persis. Seluruh ummat Islam kaget. Berita kebakaran dan penganiayaan Kyai Umar Basri berdempetan di halaman media-media online. Kegeramannya sama: tangkap segera pelakunya.
****
Sabtu pagi itu menjadi kabar buruk bagi penggiat-penggiat kemanusiaan dan keagamaan, terutama Islam. Pelaku di Krukut dan di Cicalengka segera terungkap. Dari penjelasan polisi: keduanya punya masalah kejiwaan. Psikiater akan menangani. Diluar itu, kedua pelaku juga sengaja diisolasi polisi, guna menghindari amukan massa.
Saya ternganga. Untung saja kawan saya dr Nova Riyanti Yusuf sudah menginisiasi lahirnya UU Nomor 18/2014 tentang Kesehatan Jiwa. Saya tahu komunitas yang menyusun naskah akademis rancangan undang-undang itu. Sebelum dan saat Noriyu, panggilan akrabnya, menjadi anggota DPR RI, saya sering berdialog dengannya tentang masalah-masalah kejiwaan. Noriyu sudah menulis beberapa novel.