Lihat ke Halaman Asli

Kapok Politisi Populis, 2019 Pengen Politisi Swag Paham Literasi Jadi Capres

Diperbarui: 20 Januari 2018   16:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Populisme adalah fenomena politik Jaman Now, tidak dapat dihindari, Politisi pun latah beramai-ramai bergaya populis demi meraup suara menapaki kesuksesan Politisi gorong-gorong Sang Populis sederhana. 

Populisme ini ngeri-ngeri berbahaya karena umumnya politisi seperti ini, "mengumpankan" masyarakat janji-janji yang terlampau jauh dari kenyataan meski syaratnya berkurban akal sehat tidak realistis melampaui futuristic malah, semisal roket dan tol laut, beneran dilaut lho, arsitek Fir'aun pembuat Piramida, Pak Imothep  mungkin ngakak sambil salto nyanyi lirik Jamrud, namanya laut angin pasti kuenceng wuss, boleh dikata ini janji terabsurd memaksa, dari politisi yang pernah ada di Indonesia.

Demi Popularitas yang didapat tak ada bedanya dengan yang ingin terkenal tapi kencingin air zam-zam, lingkungan sekelilingnya pun gitu sama akal jauh dari panggang, merasa paling berhak mengklaim mewakili kepemilikan nilai-nilai wong cilik, paling ribut koar-koar wong cilik tapi lihat setelah jadi pemenang yang terjadi kepemilikan wong cilik itu dibarter demi mega proyek kepada wong yang sama sekali jauh dari cilik alias raksasa yang duitnya setara 100 juta wong cilik. Terus Siapa yang terwakilkan? Apa mewakili siapa?KebeRpihakan?.

Sang  populis yang jadi pemenang lalu memilih mengangkat narasi-narasi anti radikal yang diutarakan dengan cara radikal oleh pendukungnya itupun belum tentu dapat menguatkan elektabilitas  sang populis, merujuk hasil polling yang menunjukkan elektabilitas si Populis belum masuk kategori aman bola masih bergerak liar menuju tahun  politik 2018 bisa saja si populis nantinya megap-megap mekar menuju arah jurang degradasi politik 2019 merujuk hasil buruk si merah menjaga kursi petahana mantan duetnya dulu, ya mungkin hampir mirip-mirip Marine Le Pen di Prancis yang Populer karena kampanye Anti Muslim-nya, Le Pen mungkin telah menjalankan kampanye sangat efektif, namun menjelang tahun politik jajak pendapatnya merosot selama berbulan-bulan. Dia hanya unggul dalam jajak pendapat tahun lalu, mencapai 30 persen lantas hanya dalam dua minggu perolehannya terjungkal dua kali oleh "kedigdayaan" Emmanuel Macron.

Kekalahan sederet politisi Eropa yang mengusung Populisme seperti Wilders di belanda dan Le Pen di Perancis menunjukkan publik global mulai awas dengan politisi populis setelah melihat kerusakan nyata rasisme Trump di Amerika yang secara moral-imperative-nya gagal total di mata Dunia , publik global mulai menganggap debat antar-kandidat, adu literasi merupakan poin penting dalam menilai pilihan mereka bukan populisme picisan politisi semisal ngendap di gorong-gorong ibu kota planga-plongo ga jelas dalam posisi ngedan menatap kosong gorong-gorong itu. 

Perlu dicatat bahwa Geert Wilders sendiri beberapa kali tidak menghadiri debat publik yang diselenggarakan selama masa kampanye. Hal ini turut serta mengurangi dukungan Wilders yang hyper Anti islam.

Benar kiranya pernyataan Cas Mudde (2004) bahwa, "sederet pengamat memberikan catatan bahwa populisme melekat pada demokrasi perwakilan." dan jika diIndonesia usahanya hanya merekatkan perwakilan itu dengan Lem aica Aibon maka sangat berbahaya bagi kesehatan masyarakat, bau dan uap lem aibon itu dapat menyebabkan efek candu, dari aromanya yang menyengat dapat ketahuan populisme itu mewakili kiri atau kanan, lihat toleransi ber-Agama kita saat ini apa netral membaui kanan kiri atau bau perekat toleransi itu menguap saja.

Demikian halnya Thomas Piketty (Hazareesingh, 2015), saat menyatakan bahwa kebangkitan populisme bisa disalahkan sebagai penyebab besarnya kesenjangan dalam distribusi kesejahteraan, yang perlu digarisbawahi pada konteks sistem sosiopolitik apa populisme itu tumbuh. Populisme mungkin bukan penyakit bagi demokrasi, tapi demokrasi itu sendirilah yang menjadi agen atau rumah untuk bibit penyakit populis mampu tumbuh kembang, atau bisa disebut sebagai patologi demokrasi.

Lalu bagaimana menyikapi Patologi Demokrasi dalam memilih pemimpin JamanNow, mengingat peran kepemimpinan sangat vital dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, masyarakat tidak boleh salah dalam memilih pemimpin, menurut UNESCO, masyarakat Indonesia hanya membaca 27 halaman buku dalam satu bulan, begitupula dengan kondisi guru yang tidak jauh beda sehingga bisa dikatakan, kondisi pendidikan di Indonesia termasuk buruk, menurut Harry S. Truman: “Tidak semua pembaca adalah pemimpin, tetapi semua pemimpin adalah pembaca.

Kesalahan menentukan pilihan selama lima menit dalam bilik surat akan turut menentukan nasib kehidupan bangsa lima tahun mendatang, seperti sekarang ini banyak yang menyesal telah salah memilih. Agar kita mampu memilih pemimpin dengan tepat, maka itu kita harus cerdas memilih guys, Jangan harap mendapat pemimpin yang cerdas, kalau memilih saja kita bodoh guys. 

Memilih pemimpin itu setidaknya wajib memperhatikan satu dari empat sifat ini yaitu sidiq (jujur), amanah (bisadipercaya), fathanah (cerdas) dan tabligh (bisa menyam-paikan gagasan dan mampu membawa rakyatnya ke arah perbaikan dan kemajuan).  Jangan  memimilih pemimpin yang membagikan sepeda, pilih yang membagikan buku, Ilmu dan literasi agar kedepanya tidak salah memilih pemimpin lagi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline