Segala hal yang berbau fenomenal erat kaitannya dengan pemuda Indonesia. Apalagi dengan fenomena-fenomena akhir-akhir ini. Mulai dari cabe-cabean lah, terong-terongan lah, dan mungkin akan disusul dengan istilah sayur-mayur atau buah-buahan lainnya. Orang-orang yang tergabung dalam serikat sayur-mayur divisi cabe-cabean dan terong-terongan ini harus memenuhi beberapa kriteria agar bisa menjadi bagian dari serikat tersebut. Kriteria itu akan dipenuhi jika para pihak yang tergabung telah melakukan beberapa atau seluruh kewajiban yang tercantum dalam tata tertib cabe-cabean. Seperti, memakai hotpant sebagai seragam wajib, handphone sebagai pegangan utama, behel, entah yang dipasang di dokter gigi atau tukang pasang gigi sebagai penunjang senyuman, rambut kaku lurus hasil rebonding dan juga kewajiban memakai foto selfi hasil editan baik yang dicerahkan, dihitamputihkan, dibuat kolase, yang penting foto tidak boleh dipajang polos.
Salah satu kriteria yang begitu booming dan menyebarluas dilakukan berbagai kalangan adalah foto selfie yang telah diedit secara instan namun menghasillkan foto kualitas jempolan. Sepengetahuan saya, aplikasi editor yang dipakai paling marak adalah kamera 360. Saya duga, filosofi dari penamaan 360 adalah karena tujuan utama dari foto editor ini adalah ingin merubah hasil foto seseorang 360 derajat. Foto yang tampak pada layar ponsel tidak akan sama dengan wajah asli.Rasanya tidak akan lengkap jika ponsel-ponsel pintar yang dipegang tidak dipasangi aplikasi kebanggan cabeyers. Wajah yang berjerawat jadi halus, kulit yang hitam kusam jadi putih lembut, mandi atau belum mandi, wajah anda akan selalu tampak lebih cantik. Hal ini membuat para cabeyers yang awalnya tidak percaya diri memamerkan kecantikanya menjadi begitu percaya diri. Tak jarang orang yang melihat foto hasil editan itu “pangling” dengan si empunya foto. Membuat orang yang tidak tahu bertanya-tanya berapa ratus ribu won yang telah dihabiskan orang tersebut untuk melakukan oplas alias operasi plastik di negeri boyband. 360 benar-benar menjadi wabah. Muda, tua, lansia (adakah?)dari anak SD hingga ibu-ibu tak lupa untuk mengedit dulu foto-fotonya sebelum diterbitkan ke dunia maya. Pun dengan gaya-gayanya. Bibir yang dimanyun-manyunkan, rambut panjang hitam legam yang diurai indah, senyum manis yang membuat siapa saja klepek-klepek. Beuh, betapa bahagianya si pembuat aplikasi ini karena telah menjadi penolong dan pengukir senyuman bagi semua selfiers. Tapi bisa juga bahwa hati si pembuat aplikasi ini merasa begitu bersalah karena ia telah mengikis dan menambah rasa percaya diri seseorang dalam waktu yang bersamaan. Menambah karena tidak bisa dipungkiri, berapa banyak foto selfie editan yang telah kita lihat di jagad maya dalam pose yang rata-rata sama. Yang membedakan adalah kebesaran Allah yaitu keanekaragaman wajah selfier itu sendiri. Mengikis karena disadari atau tidak orang-orang menjadi tidak merasa lengkap jika foto dirinya belum diedit sebelum diupload. Edit foto sudah seperti prosedur wajib pengambilan gambar.
Positif atau tidak fenomena ini, ya jelas tergantung. Bagi para penggemar 360 sudah pasti hal ini positif. Praktis, murah, cepat. Dampak negatif mungkin hanya akan terasa signifikan bagi para pekerja foto karena ongkos ketrampilan edit via komputer jadi menurun. Suka-suka yang menilai lah. Kita tunggu saja, fenomena apa berikutnya yang akan menyerang dan menjadi wabah di negeri ini. Sekian
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H