Lihat ke Halaman Asli

Kita Masih Membutuhkan Literatur-literatur Lama

Diperbarui: 5 Januari 2018   16:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Literatur (pixabay.com)

Kemajuan suatu bangsa tidak bisa diukur hanya dari kemajuan ekonominya dan kemajuan teknologinya. Masih ada indikator lainnya yang menyertai kemajuan bangsa tersebut. Indikator itu menyangkut bagaimana perkembangan literasinya.

Untuk saat ini sudah banyak buku-buku yang diterbitkan, apakah itu menyangkut terjemahan dari literatur asing atau merupakan hasil karya tulis anak bangsa. Akan tetapi sudah berapa ratus judul yang terbit sekarang ini kita sendiri tidak mendapat informasi yang jelas.

Dalam rangka terbit menerbitkan buku harus diakui Indonesia masih sedikit sekali menerbitkan buku-buku dengan judul baru jika dibandingkan dengan beberapa negara Asia lainnya seperti India, Thailand dan Jepang. Industri penerbitan literatur kita masih rendah.

Karena sedikitnya penerbitan buku-buku dengan judul baru maka belum lagi bisa dikatakan Indonesia itu sudah maju. Tetapi, tak bisa pula dikatakan terbelakang hanya karena rendahnya volume dunia penerbitan kita.

Kalaupun Indonesia dapat meningkatkan jumlah penerbitan literatur masih belum bisa dikatakan Indonesia sudah maju selagi literatur-literatur lama masih tetap saja tinggal di zaman lalu, artinya tidak terbit lagi di zaman kini.

Lalu, jangan menganggap buku-buku lama itu sudah usang sehingga tak perlu diterbitkan lagi. Maka pandangan seperti itu adalah pandangan komersial, hanya mencari keuntungan belaka dari dunia penerbitan.

Kalau sudah sampai pandangan seperti itu biasanya sang penerbit hanya mau mencetak ulang buku-buku yang best seller saja. Tak ada minatnya menerbitkan kembali buku-buku lama. Sementara kita mengetahui buku-buku lama itu cukup banyak jumlah judulnya tetapi sedikit sekali yang dicetak ulang pada masa kini.

Mengapa badan penerbit enggan menerbitkan kembali buku-buku lama tersebut sebabnya ada dua. Sebab pertama, gaya bahasa penulis orang-orang dahulu agak susah dipahami, terlalu banyak variasinya sehingga nyaris membosankan. Bagi anak-anak muda masa kini membaca buku-buku yang demikian tidak menarik. Namun, tidak semua buku-buku masa lalu itu begitu gaya bahasanya.

Sebab kedua, semua buku-buku produk masa lalu dianggap oleh para penguasa Orde Baru (Orba) berbau komunis dan karenanya tidak boleh lagi dicetak. Bahkan diantaranya ada yang dilarang terbit sebab, buku-buku itu menganut ajaran-ajaran komunis Karl Marx.

Tetapi, buku-buku semisal karangannya Bung Karno juga ikut dilarang terbit oleh penguasa Orba. Buku-buku Sarinah, Indonesia Menggugat, Mencapai Indonesia Merdeka, yang diterbitkan di zaman Belanda ikut pula menjadi buku terlarang. Apa lagi buku "Dibawah Bendera Revolusi" I & II tak ada lagi tempat pada masa itu.

Padahal, buku "Dibawah Bendera Revolusi" itu kini dicari-cari orang. Kalau ada yang mau menjual buku itu orang sunggup membelinya Rp 2 juta per jilidnya. Orang dari Malaysia saja menanyakan tentang buku tersebut, dia berani membeli seharga Rp 5 juta untuk kedua jilidnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline