si dungu
Hilangnya kepercayaan rakyat pada penguasa dan pemerintah dinegeri ini menimbulkan gap yang sangat mendasar dalam sisi religius dan berkemasyarakatan pada bangsa kita. Kepercayaan yang telah hilang, keadilan yang dapat dibeli dengan nilai rupiah, hukum yang menjadi komoditas dalam mempertahankan dan merebut kekuasaan, agama yang menjadi muatan politisasi untuk menuai keuntungan, angka pengangguran yang makin meninggi, pendidikan mahal yang seolah – olah mampu menjual masa depan, kesenjangan sosial yang meruncing, serta harapan – harapan yang tak terwujud lainnya menimbulkan sisa sakit hati pada masyarakat bangsa ini.
Hal ini dapat dilihat dari banyaknya golongan putih yang tak mau memberikan suaranya pada acara pemilihan umum, pilkada dan sebagainya. Antipati rakyat awam atau modern yang seolah tak peduli pada acara – acara demorkrasi atau berkecenderungan untuk menjual suaranya demi rupiah yang tak seberapa harganya memang banyak sekali terjadi disekitar kita. Toh nyatanya pola pikir mereka terwujud dengan adanya politik uang, kandidat hanya menebar janji palsu dan semu serta tak peduli lagi dengan rakyatnya setelah terpilih, acara balas budi untuk sebuah kemenangan dengan bagi – bagi proyek dan masih banyak lagi. Yang hal ini merupakan rahasia umum yang sudah mendarah – daging dan biasa terjadi dinegeri ini.
Masih ada hal lain yang dapat dijual pada masyarakat kita dengan presentase yang sangat lumayan dalam memperoleh keuntungan, yaitu sisi agamais. Karena biar bagaimanapun agama menjadi candu sosial yang tak dapat dilepaskan dari kehidupan sosial kita. Munculnya partai politik berbasis agama yang nyatanya mampu memperoleh simpati tinggi serta sangat diagung – agungkan kini, organisasi kemasyarakatan dengan menjual nama agama dan seperngkatnya serta apapun yang dilakukan atas nama Tuhan terjadi disekeliling kita. Sebagai contoh sederhana adalah legalisasi premanisme dengan mengatasnamakan agama yang digunakan sebagai pelindung dalam melegalkan sikap premanisme dengan arak – arakan atau berkonvoy dijalan tanpa mengindahkan pengguna jalan yang lainnya yang seolah sangat dimaklumi sekali oleh kebanyakan dari kita karena mereka baru selesai atau akan melakukan suatu kegitan agama secara bersama, masuknya paham – paham agama radikal dalam setiap lapisan masyarakat hingga pelajar atas nama kegiatan agama “rohis” hingga membentuk paham – paham fanatisme pada golongannya sendiri dengan mengklaim bahwa mereka paling benar atau masih banyak lagi.
Kata preman berasal dari Bahasa Inggris, yaitu free yang berarti bebas dan man yang artinya laki – laki atau manusia. Jadi preman adalah manusia merdeka yang menolak segala bentuk penindasan dan penjajahan dalam segala bentuk. Tetapi makna preman menjadi negatif ketika sikap mereka tak menunjukan apa yang diartikannya seperti memalak, kompas, pungli, menimbulkan keresahan dan sebagainya.
Begitu juga dengan arak – arakan serta convoy yang terjadi dengan mengatasnamakan agama atau akan mengikuti dan telah megikuti suatu kegiatan agama yang seolah – olah mejadi suatu hal yang harus dimaklumi ketika mereka menguasai jalanan layaknya preman yang selalu berkonotasi negartif dibenak kita karena mereka telah memenuhi panggilan tuhan sehiungga merasa paling benar dan suci atau mungkin karena mereka berjumlah banyak sehingga dapat bersikap seenaknya saja. Selain itu ada juga mengibarkan bendera Tuhan dan mengatasnamakan berjuang dijalan Tuhan “jihad” serta dengan seenaknya bisa meminta iuran dana relawan umat atau dana perjuangan atau dengan kata lain kegiatan kompas, palak, pungli sangat legal dan biasa atas nama Tuhan. Hingga ada juga menghalalkan darah serta kepala bagi mereka yang tak sepaham karena dianggap kafir. Dan hal ini terjadi dibeberapa daerah yang terjadi konflik agama yang mungkin tak akan berujung.
Sutau hal yang sangat miris dan menjijikan sekali terjadi dengan saudara negeri sendiri dengan memperjual – belikan nama Tuhan dengan mengatasnamakan suatu Negara Agama Dominan yang mungkin tak akan pernah terwujud karena bangsa kita multi religi dan kepercayaan yang melatarbelakanginya. Bersama kita (Islam, Kristen atau Nasrani, Hindu, Budha dan agama kepercayaan yang memang sudah ada dan diturunkan oleh nenek moyang kita) merebut kemerdekaan dari kolonial atas nama nasionalsme dan tujuan bersama Bangsa Indonesia yang merdeka tanpa penindasan dan penjajahan bukan atas dasar membentuk negara agama dominan, melainkan atas nama bangsa dan segenap rakyat Indonesia.
Mereka dan kita tak pernah sadar jika telah terjadi provokasi dan doktrinisasi nilai – nilai agama pada otak – otak generasi yang akan datang sehingga hal ini dapat memicu konflik dan terjadinya pengkotak – kotakan dalam agama dan kehidupan sosial. Paham – paham yang menghacurkan dan dapat memecah belah sistem persatuan dan kesatuan bangsa yang harus dihindari nyatanya diserap oleh generasi yang akan datang. Bangga dengan menggunakan atribut keagamaan demi suatu kepentingan dan muatan pribadi, kelompok serta golongan dengan mengorbankan Negara Kesatuan Republik Indonesia…. adalah hal yang sangat T.O.L.O.L !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H